BAB
I
Pendahuluan
Latar
Belakang
Agama Hindu adalah agama yang tertua dari
agama-agama lain. Kata Agama Hindu itu sendiri dapat di bagi menjadi dua kata
yakni kata “agama” dan kata “hindu”. Kata Agama
berasal dari dua urat kata yakni A dan Gam, huruf A dalam artian Hindu
memiliki arti tidak sedangkan kata Gam memiliki arti pergi, jadi kata agama itu
memiliki arti tidak pergi dan juga bisa diartikan langgeng. Kata Hindu berasal
dari kata Sindhu yang dari kata Sindhu itu ialah nama sungai yang lama-kelamaan
di ucapkan menjadi kata Hindu.
Agama hindu yang di Bali berbeda dengan
Agama Hindu yang ada di India, di Bali agama Hindu dibungkus dengan adanya
suatu tradisi,aturan adat istiadat yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dan
juga bentuk tempat suci yang digunakan dalam memuja Tuhan maupun
manifestasinya, di India tempat suci yang digunakan dalam memuja Beliau
diberinama Kuil maupun mandir sedangkan tempat suci yang digunakan dalam memuja
Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Bali disebut dengan Pura.
Tempat
suci Agama Hindu yang di Bali adalah pura yang secara umum memiliki arti tempat
untuk memuja Tuhan dalam berbagai aspeknya, maka pengertiannya tidak dapat
dipisahkan dengan konsepsi ketuhanan dalam agama hindu itu sendiri. Aspek yang
dimaksud ialah bhatara brahma, wisnu, iswara, mahadewa, pasupati, paramesti
guru, sangkara dan sebagainya. Di Bali aspek-aspeknya itu sering diberi nama
dengan bahasa bali seperti : Ratu Ayu, Ratu
Ngurah, Ratu Nyoman, dan sebagainya. Yang jelas bahwa semuanya itu adalah
aspek-aspek yang Esa. Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dipuja dalam berbagai pura.
Selain tempat suci sebagai stana Beliau
ada juga tempat suci yang di simbolkan sebagai stna para dewa-dewa maupun dewa
yang memiliki fungsi dan tugas sebagai penjaga yakni sanggah kemulan dan taksu
atau lebuh. Kamulan, berarti tempat pemujaan Hyang Kamulan, atau Hyang
kamimitan. Mula atau wit berarti sumber atau asal. Dengan pengertian ini
sebenarnya kita sudah dapat menarik kesimpulan bahwa yang dipuja pada sanggah
kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu
ada.
Taksu
Kata taksu sudah merupakan bahasa baku
dala kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebgai daya magis yang menjadikan
keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina,
balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut “mataksu”. Dan dalam ajaran
Tantrayana, taksu itu bias diartikan sama dengan “sakti” atau “wisesa”. Dan
yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan
Bab
II
Pembahasan
2.1
Pengertian Pura Secara umum
Memuja
Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspeknya dibangunlah tempat-tempat pemujaan.
Tempat-tempat itu adalah bangunan suci yang dibangun ditempat suci atau tempat
yang disucikan. Tempat suci Agama Hindu umumnya adalah Pura. Karena Pura adalah
tempat untuk memuja Tuhan dalam berbagai aspeknya, maka pengertiannya tidak
dapat dipisahkan dengan konsepsi ketuhanan dalam agama hindu itu sendiri.
Menurut ajaran agama hindu, tuhan itu esa adanya. Ia yang esa atau tunggal itu
ada dimana-mana, memenuhi serta mengatasi segalanya. Ada dimana-mana berarti
tanpa batas dan tanpa berwujud.
Tuhan
yang pada hakekatnya tanpa batas dan tanpa wujud itu kemudian diberi batas dan
wujud dalam kepentingan pemujaan. Ia yang impersonal menjadi personal. Tuhan
dalam aspeknya yang berpribadi inilah yang menjadi objek pemujaan umat Hindu.
Tuhan dibayangkan berkahyangan di sorga dan dimohonkan turun kedunia untuk
menerima persembahan dan pemujaan maupun untuk dimohon rahmatnya. Kemudian
setelah selesai rangkaian upacara persembahan tersebut maka tuhan dalam aspek
nya itu kembali dibayangkan kekahuangannya semula.
Tempat
untuk menerima kehadirannya itulah maka dibangun Pura. Tuhan dihadirkan dalam
berbagai aspek-aspeknya yang diinginkan kehadirannya disebut “Ista Dewata”.
Ista dewata ini ada banyak sesuai dengan kepentingan pemujaannya yang
menyangkut berbagai aspek kehidupannya. Maka itu Pura pun ada banyak macam dan
jumlahnya jadi adanya banyak tempat pemujaan di Bali tidak berarti bahwa Tuhan
itu banyak.
Tuhan
tetap Esa adanya dipuja dalam banyak aspeknya. Aspek-aspeknya itu antara lain :
bhatara brahma, wisnu, iswara, mahadewa, pasupati, paramesti guru, sangkara dan
sebagainya. Di Bali aspek-aspeknya itu sering diberi nama dengan bahasa bali
seperti : Ratu Ayu, Ratu Ngurah, Ratu Nyoman, dan sebagainya. Yang jelas bahwa
semuanya itu adalah aspek-aspek yang esa. Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dipuja
dalam berbagai pura.Jadi Pura adalah tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam
berbagai aspeknya bagi umat Hindu mulai dari tingkat keluarga terkecil sampai
dengan lingkungan wilayah terbesar.
2.2.1
Nama
beberapa tempat pemujaan
Sesuai dengan fungsinya
sebagai tempat untuk memuja Tuhan dalam berbagai aspeknya maka ada beberapa
macam tempat pemujaan, yaitu :
1.
Tempat pemujaan untuk pemujaan keluarga
2.
Tempat pemujaan untuk pemujaan Desa
3.
Tempat pemujaan untuk pemujaan profesi
4.
Tempat pemujaan untuk pemujaan seluruh
wilayah
1.
Tempat pemujaan untuk pemujaan keluarga
Tempat
pemujaan keluarga dari satu unit keluarga rumah tangga sampai keluarga besar
disebut sanggah atau pemerajan. Ada keluarga tertentu yang menyebut tempat
pemujaan pemerajan dan ada pula yang menyebut sanggah. Untuk pemujaan keluarga
kecil disebut pemerajan alit sedangkan untuk pemujaan keluarga besar namanya
pemerajan agung atau sanggah gede. Pemerajan agung atau sanggah gede disebut
juga pemerajan atau sanggah kawitan atau dadia atau panti. Pelinggih pokoknya
adalah berupa gedong rong tiga.
2.
Pura untuk pemujaan Desa
Pura
untuk pemujaan masyarakat desa adat dibali antara lain adalah Pura Dalem , pura
puseh, pura desa, pura praja pati dan sebagainya. Pura dalem, pura puseh atau
pura segara dan pura desa biasanya disebut kahyangan tiga. Fungsi pokoknya
adalah tempat pemujaan kepada tuhan dalam aspeknya disebut tri murti. Jumlah
pura antara desa tidaklah sama.
3.
Pura untuk pemujaan profesi
Tempat
pemujaan bagi kelompok-kelompok seprofesi seperti : petani sawah, nelayan,
pedagang, dan unit-unit kerja lainnya masing-masing memiliki Pura sebagai
tempat pemujaan bersama. Pura ulun swi untuk kelompok petani sawah. Pura
melanting untuk pedagang. Pura segara untuk para nelayan dan sebagainya.Bagi
seseorang yang berprofesi ganda maka tempat pemujaannya pun juga ganda. Sebagai
satu rumah tangga tempat pemujaannya adalah pemerajan alit, sebagai suatu
keluarga besar adalah pemerajan agung, dadia, paibon atau panti. Sebagai warga
desa adalah kahyangan desa. Sedangkan profesinya sebagai petani sawah ada pura
ulun swi. Profesi sebagai pedagang ada pura melanting dan sebagainya.
4.
Pura untuk pemujaan umat dari seluruh
wilayah
Pura
jenis ini bersifat umum tidak terbatas pada desa-desa tertentu, keluarga
tertentu dan profesi tertentu. Pura ini disebut kahyangan jagat. Penyiwinya
dari semua desa, semua keluarga, semua profesi. Pura-pura ini misalnya : pura
luhur uluwatu, pura besakih, pura watukaru, pura pusering jagat, pura gua
lawah, pura lempuyang dan sebagainya.
2.2.2
Beberapa
Bangunan Suci di Pura
Tempat-tempat
pemujaan untuk keluarga, warga desa,profesi atau umum terdiri dari beberapa
bangunan utama, bangunan pelengkap dan bangunan penyempurna. Bangunan Tuhan
utama adalah bangunan pelinggih untuk tempat menstanakan Tuhan dalam berbagai
aspekNya yang dipuja. Bangunan pelengkap adalah bangunan-bangunan yang
melengkapi untuk pelaksanaan pemujaan, seperti misalnya bale pawedan, bale
piyasan, bale gong dan sebagainya. Bangunan-bangunan penyempurnaan sebagai
bangunan tambahan yang menyempurnakan, seperti candi bentar, kori
agung,wantilan dan sebagainya yang merupakan pelengkap yang menyempurnakan.
Adapun bangunan utama berupa pelinggih-pelinggih, antara lain :
1. Padma.
Bentuk bangunan padma
terdiri atas bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang
disebut sari, bentuknya seperti kursi atau singgasana dan tidak beratap.
Bentuknya lengkap, media dan sederhana masing-masing disebut : padmasana,
padmasari dan padmacapah. Padmasana fungsi utamanya adalah sebagai tempat
pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam fungsi utamanya ini pelinggih padmasana dilengkapi dengan bedawangnala
yaitu seekaor kura-kura besar yang dibelit oleh dua atau seekor ular naga, yang
teletak di bagian kaki pelinggih. Dan bagian belakangnya diisi garuda dan angsa
dalam posisi terbang. Padmacapah difungsikan untuk bermacam-macam, antara lain
untuk pemujaan di karang angker dan sebagainya.
2. Meru
Meru adalah sebuah bentuk
pelinggih beratap bertingkat-tingkat yang disebut tumpang. Tumpangnya
ini semakin ke atas semakin kecil dan jumlahnya ganjil. Bagian-bagiannya
terdiri atas kepala, badan dan bebaturan sebagai pondasinya. Fungsi meru adalah
sebagai tempat pemujaan kepada Tuhan dalam beberapa aspekNya dan untuk pemujaan
leluhur. Macam meru berdasarkan jumlah tumpangnya yaitu meru tumpang 3,5,7,9
dan 11.
3. Tugu
Bentuk bangunan denah
bujur sangkar dengan luas dasar sekitar 0,60 x 0,60 m, tinggi sekitar 2,00 m
terdiri dari tiga bagian,kaki,badan,kepala atau tepas batur tenggek. Dari bawah
mengecil kea rah atas dengan hiasan-hiasan yang serasi. Bagian kepala
bidang-bidang parangan membentuk ruang tempat sesajen.
Bahan bangunan umumnya batu alam, yang
banyak dipakai batu padas, batu karang laut, batu bata atau jenis-jenis batu
lainnya sejenis atau campuran.
Konstruksinya seluruh bagian dari karang rapi dengan perekat alus.
Bentuk hiasan ukiran,pepalihan atau lelengis.
4. Gedong
Bentuknya serupa dengan tugu,hanya
bagian kepala dibuat dari konstruksi kayu, atapnya alang-alang, ijuk atau
bahan-bahan penutup atap lain yang disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya.
Bagian badan dan kai atau batur dan tepas, pasangan batu halus rapi tanpa atau
sedikit perekat siar-siar pasangan. Ikatan konstruksi pada bagian dalamnya.
Selain
bangunan
pelinggih utama dan bangunan
pelinggih runtunan, di pura atau pemerajan. Bangunan-bangunan tersebut
pelengkap upacara pemujaan. Bangunan-bangunan tersebut meliputi :
1. Bale
Pawedan, bangunan sakepat atau bangunanyang lebih besar, letaknya di
bagian sisi berhadapan dengan bangunan pemujaan,menghadap ke timur
atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaaan. Bale pawedaan dibangun
di pura-pura besar yang sering menyelenggarakan upacara tingkat utama
memerlukan tempat pawedaan.
2. Pawaregan
suci, letaknya di jaba tengah atau di jaba sisi.bentuk bangunan memanjang
deretan tiang dua-dua, luas bangunan tergantung
keperluan dari besarnya suatu
pura. Fungsi bangunan untuk dapur mempersiapkan
keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya
jauh dari desa tempat pemukiman.
3. Bale
Gong, terletak di jaba tengah atau di jaba sisi, bangunan tanpa balai-balai
jajaran tiang tepi tanpa tiang tengah. Luas bangunan sekitar 20 , terbuka keempat sisi
atau ke belakang perbatasan dengan tembok penyengker. Fungsi bangunan untuk
tempat menabuh gamelan gong atau gamelan lainnya.
4. Bale
Kulkul, letaknya disudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan
tepas,batur,sari dan atap penutup ruang kulkul atau kentongan. Fungsinya untuk
tempat rangkaian upacara. Bentuk-bentuk bale kulkul ada yanhsederhana media dan
utama sesuai dengan fungsinnya pura.
5. Panggungan,
bangunan tiang empat atap pelana balai-balai tinggi luasnnya sekitar 2 . Letaknya dibagian
selatan menghadap ke utara atau di jabaan. Bentuk bangunan sederhana, fungsinya
untuk tempat penyajian banten upacara panggungan. Bangunan panggungan dibangun
dibeberapa pura yang tergolong besar dan sering melakukan pemujaan utama.
2.2.3
Pengelompokan Pura
Di
Bali ada ribuan pura besar maupun kecil tersebar diseluruh wilayah pantai,
pedalaman dan pegunungan. Dari keseluruhan pura-pura tersebut dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1.
Pengelompokkan atas dasar fungsinya.
a. Pura
yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dalam berbagai
aspekNya.
b. Pura
yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci atau
leluhur.
Selain
kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak
mungkin terdapat pulabpura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang
Widhi juga untuk memuja bhatara. Hal itu dimungkinkan untuk mengingat adanya
kepercayaan bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tersebut telah
mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata) dan disebut
bhatara.
2.
Pengelompokkan
berdasarkan karakterisasinya.
a. Pura
Kahyangan Jagat, yaitu pura tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala
Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
b. Pura
Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara)
oleh Desa Adat.
c. Pura
swagina (pura fungsional) yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina (kekaryaan) yang mempunyai
profesi sama dalam mata pencaharian seperti : subak, melanting dan sebagainya.
d. Pura
Kawitan, yaitu pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan “wit” atau
leluhur berdasarkan garis (vertical genealogis) seperti : sanggah,pemerajaan,
ibu,panti,dadia, batur, penataran dadia, padharman dan yang sejenisnya.
Pengelompokkan pura diatas jelas berdasarkan Sradha atau tattwa Agama Hindu
yang berpokok pangkal konsepsi Kketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabawa-Nya dann konsepsi Atman manunggal dengan Brahman
(Atman siddha dewata) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena
itu pura diBali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping
ada pula yang disungsung oleh keluarga atau klen tertentu saja.
2.3 Sanggah Kemulan
Hampir setiap karang perumahan di Bali,
pada bagian hulu atau udiknya terdapat sebuah “sanggah” yang umum disebut
“sanggah kemulan” untuk golongan tertentu disebut juga “sanggah kamimitan”.
Karena sanggah tersebut selalu letaknya udik atau hulu dari karang, maka
disebut juga “Panghulun Karang”.
Sanggah kamulan, sanggah kamulan terdiri
dari dua kata yaitu: sanggah dan kamulan. Sanggah adalah perubahan ucapan dari
pada “sanggar. Arti sanggar ,menurut pengertian lontar keagamaan di Bali adalah
tempat pemujaan. Misalnya dalam lontar Sivagama disebutkan ‘nista Sapulihing
seduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal Sivagama, lembar 328).
Kamulan berasal dari kata “mula’
(samkrit), yang berarti: akar, dasar, permulaan, asal”. (Kamus kecil
Samkrit-Indonesia, 1983.180). Awalan Ka dan akhiran an menunjukkan tempat
pemujaan asal atau sumber. Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau
sumber, kamimitan berasal dari kawa wit, (huruf m adalah ekeluarga huruf W).
Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata Wit, yang
ebrarti asal atau sumber pula.
2.3.1 Pengertian SangHyang Kamulan
1. Dasar
Hukum Pendirian Sanggah Kamulan
Telah
dijelaskan secara etimologi kata, bahwa Sanggah Kamulan, berarti tempat
pemujaan Hyang Kamulan, atau Hyang kamimitan. Mula atau wit berarti sumber atau
asal. Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik kesimpulan
bahwa yang dipuja pada sanggah kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber
atau asal dari mana manusia itu ada.
Uraian tentang pendirian Hyang Kamulan
itu. Adapun kutipan Lontar yakni:
“….bhagawan
Manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondaripati, umaryanang
sadhyangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan
Swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang
setengah bhaga rwang puluhing saduluk, anggarpratiwi wangunen ika, mwang
kamulan pnunggalanya sowing….”
(Lontar
Sivagama, lembar 328).
Arti kutipan tersebut lebih kurang:
….
Bhagawan
Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun
Sad Khayangan kecil,sedang maupun besar. Yang
merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang
untuk empat puluh keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian yakni
20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun,
dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada
masing-masing pekarangan….”.
Dengan
kutipan diats jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang
perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Siwagama
inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian sanggah kamulan itu.Lontar
Sivagama adalah merupakan Pustaka suci bagian Smerti dari sekte Siva. Oleh
karena itu Ajaran Siva seperti tercantum pada Lontar Sivagama itu wajib diikuti
oleh penganutnya.
2. Hyang
Kamulan adalah Sanghyang Triatma
Kamulan
atau kawitan adalah merupakan sumber atau asal manusia itu sendiri. Manusia
didalam bahasa Sanskrit telah menjadi bahasa Bali halus umum disebut ‘jatma”
yang berasal dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma berarti roh. Jadi
jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan ini sesungguhnya manusia itu ada
karena adanya atma yang lahir, engan demikian atmalah yang menjadi sumber
adanya manusia itu sesungguhnya. Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan
lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, Tatwa kepatian dan Purwa bhumi Kamulan.
Lontar-Lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan
adalah Sang Hyang Triatma atau 3 aspek dari atam itu sendiri.
Dalam Lontar Usana dewa disebutkan:
“Ring
kamulan ngaran Sanghyang Atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma,
ring kamulan kiwa ibu ngaran Sang Sivatma, ring kamulan tengah ngaran raganya,
tu brahma dadi mem bapa, meraga SangHyang Tuduh…..”
(Rontal
Usana Dewa, lembar 4)
Yang artinya:
“Pada anggah kamulan beliau bergelar
Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma.
Padakamulan kiri ibu, disebut Sivatma.pada kemulan runag tengah diri-nya itu
brahma, menjadi purusa predana berwujud Sang hyang Tuduh (Tuhan Yang
Menakdirkan).
Demikianlah
juga Lontar Gong wesi, kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana
Dewa kitipannya adalah sebagai berikut:
“…..ngaran
ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, Sang Paratma,ring kamulan kiwa,
ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa
ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nunggalang raga….”
Lontar:
Gog Wesi, lembar 4b)
Artinya:
“….Nama beliau Sang Atma, pada ruang
kamulan kanan bapakmu, yaitu sang paramatma, pada ruag kamulan kii ibumu, yaitu
sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi SangHyang
Tunggal menyatukan wujud.”
Dari
kutipan lontar diatas jelaslahbagi kita, bahwa yang etrshtana disanggah kamulan
itu adalah SangHyang Triatma, yaitu: Paratma yang diidentikkan sebagai ayah
(purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (Pradana) dan sang Atma yang
diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya SagHyang
Triatma itu tidak lain dari pada Brahma, atau Hyang Tunggal/Hyang Tuduh sebagai
Pencipta (upti).
3. Hyang
Kamulan adalah Roh Suci Leluhur
Dalam
lontar Parwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang
disebut Dewapitara, juga diisthanakan di Sanggah Kamulan seperti disebutkan:
“ Riwus mangkana daksina pengadegan
Sang Dewapitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena
ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa
hyangnya nguni….”
(Purwa Bhumi Kamulan, lembar:#).
Yang
artinya:
“Setelah
demikian daksina perwujudan Roh Succi dituntun pada SangHyang Kamulan, kalau
bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh itu suci itu bekas
perempuan dinaikkan disebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya
terdahulu”.
Dalam
Rontal Tattwa Kapatian disebutkan bahwa SangHyang Atma (roh) setela mengalami
proses upacara akan bersthana pada Sanggah Kamulan sesuai dengan kadar kesucian
atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yag hanya baru mendapat “tirtha
pengentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat sanggah
kamulan sampai tingkat “batur kamulan”seperti disebutkan:
“Mwah
tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih
lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan”
Artinya:
“dan
perihalnya orang mati yang ditanam boleh memakai tirtha pengentas tanam,
hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan.
4. Hyang
Tri Murti Dewanya SangHyang TriAtma.
Tingkatan
Sang Hyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siva Tatwa maka ‘atma’
adalah yang menjadikan hidup pada mahluk. Sivatman adalah sumber atma di alam
nyata (sekala) ini. Sedangkan paramatma adalah sumber utama roh dialam
transcendental(niskala). Ia adalah atma tertinggi, ia adalah Tuhan menurrut
sistim yoga, ia adalah identik dengan paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam
sistim Vedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.
Jadi
melihat uraian dan kutipan diatas jelaslah bgai kita bahwa yang dipuja pada
sanggah kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/Hyang Widhi, baik sebagai Hyang
Triatma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) Hyang
Dewanya adalah Brahma, wisnu dan Isvara, yang merupakan aspek Tuhan dalam
bentuk horizontal dan siva, Sada Siva, Paramasiva, aspek Tuhan dalam bentuk
vertical (tri purusa). Sebagai tri purusa beliau juga disebut Guru tiga. Oleh
karenanya umum juga menyebutkan bahwa sanggah kamulan “sthana” BHatara
Guru/Hyang Guru
2.3.2
Fungsi Sanggah Kamulan
1. Tempat
pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Di muka telah
dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah SangHyang Tri Atma yang
penanggulannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. SangHyang Tri Atma yakni:
Atma, Sivatma, dan ParamaAtma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai roh.
Menurut sistim yoga, ia adalah identik dengan tri purusa (Siva, Sada Siva dan
Paramasiva) menurut filsafat Siva sidhanta dan sesuai pula dengan brahma,
wisnu, dan isvara. Ia juga sesuai juga dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh
karenanya Hyang Kamulan adalahjuga bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula
yaitu guru purwam (Paramasiva), Guru madyam (Sada Siva) an Guru rupam (siva).
Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada sanggah kamulan adalah Ida
Hyang Widhi dalam wujud sebagai SangHyang Tri Atma, Sang Hyang Tri Purusa
(bhatara Guru) dan SangHyang Tri murti.
2. Tempat
Memuja Leluhur
Dalam lontar PurwaBhumi
Kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempatNgunggahang Dewa Pitara,
“….
Iti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan….”
(Rontal
PurwaBhumi Kamulan, lembar 53).
(Rontal PurwaBhumi
kamulan, lembar 53). Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah
untuk “melinggihkan” atau “mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang
dimaksud dengan dewa pitara adalah: roh leluhur yang telah suci, yang disucikan
melalui peruses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun atma wedana. Ngungkahang
Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa
pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat
“irika mapisan lawan dewa Hyanggnia nguni” mengandung pengertian bersatunya
atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatam (ibunta) dan pratma
(ayahta. Hal ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni
mencapai moksa (penyatuan atman dengan paramatman). Pemikiran tersebut
didasarkan atas aspek Jnana kanda dari ajaran Agama Hindu. Dari segi susila
(aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kemulan, adalah bermaksud
mengabdikan /melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan
untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan. Tatacara
ngunggahang Dewa Pitara menurut rontal Purwabhumi kemulan, akan diuraikan pada
bab tersendiri. Atma yang dapat di unggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma
yang telah disucukan melalui upacara Nyekah atau memukur seperti dinyatakan dalam
rontal :
“ ……… iti
kramaning ngunggahang pitra ring
Kamulan, ring wusing anyekah kurung muah
Mamukur,
ring tutug rwa wales dinanya, sawulan
Pitung
dinaya………”
Artinya
:
“……… ini perihalnya menaikan dewa
pitra pada
Kamulan, setelah upacara nyekah atau
mamukur,
Pada dua belas harinya, atau 42
harinya………..”
Jadi upacara ngalinggihang Dewa Pitara adalah merupakan
kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah
mencapai tingkatan dew, sehingga disebut dewapitara, maka upacara ini tidak
tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewa Yadnya. Dari uraian
diatas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah kamulan di samping untuk memuja
Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan
sumbernya (Hyang Kemulan, atau Hyang Widhi). Dalam masyarakat Hindu di India,
menurut Griha Sutra, tempat memuja leluhur dalam tingkatan rmah tangga disebt
“Wastospati”.
3. Fungsi
Taksu
Pada areal Sanggah Kamulan ada sebuah palinggih yang
penting lagi disebut “Taksu”. Kata taksu
sudah merupakan bahasa baku dala kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebgai
daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para
seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut
“mataksu”. Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bias diartikan sama dengan
“sakti” atau “wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari
pada “bala” atau kekuatan (sakti this is the simbol of or strength) (Das Gupta,
1955;100). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energy atau “kala”.
(This saktior energy is also regarded as kala or time) (Das Gupta, 1955:100).
Dalam tatwa, daya atu sakti itu tergolong “maya tatwa”.
Energy dalam bahasa Sanskrit disebut “ prana” adalah bentuk ciptaan yang pertama
dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana” barulah muncul ciptaan berikutnya
(panca mahabutha). Dengan gerakan oleh “prana” kemudian terciptalah alam
semesta termasuk mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau
Paramasiwa dalam sistem Siva Tatwa, memanfaatkan energy atau sakti itu,
sehingga ia menjadi maha kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aisvaryanya.
Dalam keadaan yang demikian itu, ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan
Pelebur, yang dalam Wrhasphati Tattwa disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam
Filsafat Vedanta ia disebut “Saguna Brahma”
Menyimaka dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa
kalau Purusa (Sanghyang Tri Purusa) dang Sanghyang Tri Atma kita puja melalui
palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya dipuja melalui “Taksu”. Dalam
upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai perwujudan Atma yang akan
disucikan juga kita kita mengenal adanya
“Sangge”. Menurut penjelasan Ida Padanda Putra Manuaba (Almarhum). Sangge itu
adalah simbul dari “Dewi” Mayasih”. Khusus palinggih taksu adalah berfungsi
untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti
seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.
2.8
Sejarah dan Jenisnya
Sanggah Kamulan,
menurut Tattwanya, jelas bersumber dari ajaran Hindu, aspek Jnana kanda dan
etikanya. Aspek Jnana kanda adalah bersumber dari sistem Yoga, Wedanta, Samkya,
dan Siva Sidhanta. Dalam buku Griha Sutra, disebutkan bahwa pada setiap rumah
tangga Hindu, terdapat tempat pemujaan leluhur yng disebut “Wastospati”.
Upacara pemujaannya disebut “panda pitara yajna”. Dengan adanya sanggah kamulan
sebagai tempat leluhur, dalam rumah tangga di Bali, adalah setua masuknya agama
Hindu di Indonesia. Sedangkan kata “Kamulan” itu sendiri, sebagai sebutan
tempat suci, telah disebut-sebut dalam Prasasti Sri Kahulunan pada tahun 842 Ad
yang Kutipan kalimatnya sebagai berikut:
“tatkala
Sri Kahulunan manusuk warna I trupussan
Watak
kahulunan simaning kamulan bhumi sembara”
(Soesmono;
1977:124)
Kamulan bhumi
sambara dimaksudkan adalah candi
Borobudur, yang
menurut De Casparis merupakan
Pemujaan 14
tingkat leluhur dari raja Cailendra.
Nama kamulan
sebagai tempat suci juga kita dapati dalam prasasti Siman A-126 yang
menyebutkan “Sanghyang Dharma Kamulan I paradah” (Soekmono; 1977:171). Demikian
juga dalam prasasti klungkung A-439 ada juga disebut Kamulan. Bangunan tempat
suci yang bernama kamulan telah ada kurang lebih 1000 tahun yang lalu. Di Bali
sebagai pemujaan dalam setip rumah tangga digariskan dalam lontar Sivagama.
Diperkirakan lontar tersebut adalah merupakan ajaran Mpu Kuturan. Jadi dengan
demikian dapat diperkirakan Mpu Kuturanlah yang mengajarkan agar setiap karang
perumahan bagi umat hindu d Bali, didirikan Sanggah Kamulan jenis Sanggah
Kaamulan. Umat Hindu di Bali menurut dimensi dan kondisinya, membedakan Sanggah
Kamulan menjadi beberapa jenis antara lain:
a. Turus
Lumbung adalah Sanggah Kamulan darurat, karena satu dan lainya hal belum mampu
membuat yang permanen. Bahanya dari turus kayu
dapdap (kayu sakati. Fungsinya hanyalah untuk ngelumbung atau ngayeng
Hyang Kamulan tau Hyang Kawitan. Satu tahun setelah membuka karang baru
diharapkan sudah membangun Kamulan yang permanen
b. Sanggah
Panegtegan adalah kamulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang
(membuat ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah
tangga. Setiap mereka yang kawin diwajibkan membangun sebuah sanggah rong tiga,
sehingga dalam satu pakarangan akan berdiri beberapa yang telah berumah tangga
c. Kamulan
jajar yaitu sesuai dengan namanya, Kamulan ini memiliki dua saka (tiang) yng
berjajar dimuka yang menancap langsung pada bebaturan (palih batur). Disamping
itu, Kamulan jenis ini disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga
terdiri dari tiga bagian yaitu: bebaturan, rung lepitan, dan ruang gedong
sampai atapnya. Ruang lepitan letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu.
Jadi kalau disimpulkan Kamulan jajar ini terdiri dari jajar horizontal dan
jajar vertical., sebagai simbol dari Hyang Tri Murti dan Tri Purusa.
2.3.4
Cara Mendirikan Sanggah Kamulan
1. Memilih
Palemahan
Sanggah Kamulan karena
letaknya yang selalu dihulu karang, umumnya disebut “Penghulung Karang”. Dalam
konsep Tri Angga dari pendirian perumahan maka Palemahan Sanggah/Pemrajan
Kamulan/Kamimitan, termasuk “Utama Angga”. Dalam konsep Rwabhineda palemahan
Sanggah Kamulan terletak dibagian hulu dari karang perumahan itu. Bagian “Utama
Angga” ataupun huluan, lokasinya selalu terletak pada arah Kaja. Pengertian
“kaja” bagi umat Hindu di Bali Utara (Denbukit) kajanya adalah selatan karena
letak pegunungan Bali terletak di tengah-tengah pulau Bali. Jadi memilih
pelemahan Sanggah Kamulan/Sanggah Kamimitan selalu pada kaja kangin yang bias
berarti timur laut bagi bali selatan dan tenggara bagi Bali Utara, yakni bagian
tempat yang paling hulu
2. Ukuran
menempatkan tempat Palingih
Menurut tradisi, ukuran
karang parumahan terdiri dari sikut Satak, Sikut Domas (nista, madya, Utama)
yang luasnya memang cukup memadai . sedangkan mengukurnya menggunakan ukuran
depa, depa agung maupun depa alit. Dengan ukuran karang yang demikian itu, untuk
ukuran palemahan Sanggah Kamulan, dapatlah mengambil ukuran seperti disebut dalam lontar
Astakosali, yakni ukuran “ 14 depa lawan
13 depa, pangretannya dwajangaran, umah parhyangan panti paibon, sad
kahyangan pangastulan , ika wenang
angge” tapi, dengan semakin terbatasnya tanah untuk pekarangan perumahan, maka
sulitlah untuk mendapatkan tanah seluas ukurang tersebut di atas.
Namun, untuk palemahan
yang ukuran sempit , bisa diperkecil, misalnya diperkecil 3 atau 5. Jadi pokok
ukuran untuk palemahan Sanggah Kamulan adalah 14 depa lawan 13 depa dengan
penghurip 1 hasta musti, untuk pakarangan kecil bisa diperkecil 3 atau 5.
Sedangkan jarak antara palemahan Sanggah
Kamulan dengan rumah gedong/meten (Bale Badaja) mempergunakan tampak kaki yang
memiliki, dengan perhitungan yang jauh pada “Guru” atau “Indra” dari astawara
dengan penghuripan 1 tampak ngandang. Jadi dengan demikian jarak antara rumah
badaja dengan Sanggah adalah 3 atau 4 tampak ditambah 1 tampak ngandang.
Selanjutnya, letak
palinggih Kamulan adalah mengambil bilik jarak 3 tampak ditambah 1 tampak
ngandang dari tembok timur. Untuk mendapatkan letak bagi palinggih taksu,
adalah dengan jalan mengukur luas natar/halaman antara bataran Kamulan dengan
piyasan, kalau ada. Sedangkan letak piyasan juga mempergunakan perhitungan Guru
atau Indra, dari bataran Kamulan, selanjutnya dari tengah-tengah jarak antara
piyasan dengan Kamulan ditarik garis ke “kaja” dan bertemu dengan hitungan Guru
dari tembok kaja, itulah tempat Taksu.
3.
Penempatan
Paduraksa dan Pamedal
Selanjutnya
untuk memberikan batasan dari palemahan Sanggah Kamulan tersebut yang telah
diukur berdasarkan pengecilan dari bilangan 14 depa lawan 13 depa dengan
penghurip hasta musti, maka tiap-tiap sudut dibangun suatu bangunan yang
berfungsi untuk menguatkan tembok itu sendiri yang disebut “paduraksa”. Dalam
Rontal Astabumi diuraikan tentang Paduraksa sebagai berikut :
Pada
masing-masing sudut ukuran empat persegi namanya paduraksa, yang dikaja kangin
“seri raksa namanya” dikelod kangin Sang Aji Raksa namanya Sedangkan yang
dikaja kauh Kala Raksa namanya.
Bangunan
Paduraksa ini penting sekali, kalau tidak memakai paduraksa “ Rumah Bhuta
Dengen” namanya.
4.
Caru pangrwak Bhuana/menanam dasar
bangunan
Setelah
kita melaksanakan pengukuran palemahan dan menentukan tempat bangunan, maka
palemahan tersebut diberikan upacara “caru Pangrwabhuana” yang lazim disebut
caru ayam brumbun, dengan sarana ayam brumbun diolah, dibuat jatah calon,
menurut urip tengah (8). Kulit,kepala,sayap,kaki dijadikan baying-bayang
diletakkan di atas “sengkul” delapan lembar pula. Peneknya,penek dananan, nasi
manca warna, dibawah maupun pada sanggah cucuk digantungi “sujung” berisi tuak
arak.
Yang
dipangil pada caru tersebut adalah sang bhuta rwak bhuana,sang bhuta kala
dengan “bala”nya senua sang bhuta RwakBhuana adalah nama lain dari pada sang
bhuta manca warna dan juga ia bergelar sang bhuta angga sakti. Setelah caru
pangrwakbhuana, barulah dilaksanakan pengukuran menurut ucap “ asta kosala”
kalau sudah benar ukuran ini, lalu tempat bebaturan dan palinggih-palinggih
kamulan, taksu, apit lawang, panglurah diberikan batas berupa patok-patok.
Tanah dalam patok-patok digali “ amusti” dalamnya
4.Taksu
Pada
areal sanggah kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting yaitu Taksu. Kata Taksu sudah merupakan
bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang
menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja. Misalnya para seniman,
pragina, dalang, balian, dalang dll. Mereka berhasil karena dianggap metaksu.
Dalam ajaran tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan sakti atau wisesa. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari bala
atau kekuatan. Dalam sisi lain
sakti juga disamakan dengan energi atau
kala.
Dalam tatwa, daya atau sakti itu tergolong
Maya Tatwa. Energi dalam bahasa
sanskrit disebut prana, yang
adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman.
Dengan mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca
mahabhuta. Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta
beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna
Brahma / Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti
itu, sehingga ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta
Aiswarya-Nya. Dalam keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan
Pelebur. Dalam Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.
Sakti
atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang disebut
Taksu. Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang
Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih kamulan. Dalam upacara nyekah,
selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah disucikan , kita juga mengenal
adanya sangge. Sangge ini adalah
perwujudan atau simbul dari Dewi
Mayasih. Beliau mewakili unsur Maya
Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma ikut
disucikan.
5. Besakih
Sekilas
tentang Pura Besakih
Inilah
asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta
hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek
(Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum
dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa
Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung
Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.
Beliau
berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara
Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi
ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung,
kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di
Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau
bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya
merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu
dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang
Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur
bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah
tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para
pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana
mestinya. Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang
sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak
didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Kemudian
perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat
pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu
Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang
baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu
untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan
diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi
keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang
yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa
alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di
hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi
Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan
mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya.
Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan
perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan
selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka
berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya
memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan
pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing
dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di
tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk)
berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi
dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara
(bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air
suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI.
Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu
berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa
bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan
dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura
Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam
perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga
berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca
Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu
bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura,
demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan,
terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau
Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan
pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di
samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan
atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya
Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat
kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat
khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena
itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para
leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula
membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian
dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.
4.1 Pura Persimpangan
Dari Pura Dalem
Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur
jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan.
Piodalannya pada hari Anggara
Keliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan
(singgah) sejenak bila kembali melelasti dari Segara Kelotok
Klungkung.
Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2
km di sebelah barat Pura Penataran Agung Besakih. Bangunan suci atau
Pelinggih yang utama di Pura Pesimpangan ini adalah bangunan suci yang
disebut Gedong Limas Catu. Di samping itu ada satu bangunan yang disebut
pepelik untuk menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat. Ada juga
bangunan yang disebut bebaturan dan balai yang
disebut piyasan tempat menempatkan sesajen persembahan yang lebih besar.
Di samping itu, ada
juga beberapa peninggalan batu yang sulit dinyatakan bentuknya karena sudah
rusak. Batu itu mungkin bentuk-bentuk sarana pemujaan pada zaman megalitikum
atau peninggalan sarana pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis
sebelum muncul dan semakin kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa
Pasupata tidak eksis lagi tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak
menghilangkan sarana peninggalan Siwa Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat
seperti yang kita jumpai di beberapa bebaturan di berbagai kompleks Pura Besakih.
Meskipun sarana pemujaan Sekte atau
Sampradaya Siwa Pasupata tidak menjadi unsur utama dalam sistem pemujaan Siwa
Sidanta, tetapi hal itu tetap dihormati tidak dimusnahkan atau tidak
diperlakukan semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai pelinggih utama di
Pura Pesimpangan berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana sementara Ida
Batara di Besakih. Mengapa ada stana sementara?
Dalam kegiatan ritual keagamaan yang
bersifat rutin di Pura Besakih ada kegiatan yang disebut Melasti. Upacara
Melasti simbol perjalanan para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu
dilakukan di Besakih umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai
selatan Kabupaten Klungkung, ke Tegal Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat
inilah setiap tahun dilakukan upacara Melasti.
Saat iring-iringan Melasti itu kembali
ke Pura Besakih atau ke Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura
Besakih. Iring-iringan Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di
Pura Pesimpangan ini. Saat berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di
Pura Pesimpangan itu disimbolkan sebagai stana sementara Ida Batara di
Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari bahasa Bali yang artinya singgah.
Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai
tempat singgah sementara dari Ida Batara simbol Tuhan Yang Maha Esa yang
dipuja di Pura Penataran Agung Besakih. Iring-iringan Melasti itu saat
kembali ke pelinggih semula umumnya dipersembahkan beberapa sesaji. Besar
kecilnya sesaji itu tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya besar
maka sesaji untuk kembali berstana di pelinggih asal lebih besar lagi.
Untuk mempersiapkan sesaji itu
membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah
iring-iringan Melasti yang kembali itu membutuhkan singgah untuk berhenti
sejenak di Pura Pesimpangan. Zaman dahulu belum ada alat-alat komunikasi dan
transportasi yang canggih seperti sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui
siap dan tidaknya penyambutan iring-iringan Melasti itu di Pura Besakih.
Yang menjadi tanda bahwa iring-iringan
itu sudah dekat dengan Pura Penataran Agung Besakih adalah suara gong atau
gamelan. Konon iring-iringan Melasti itu kalau sudah sampai di Pura
Pesimpangan suara gongnya sudah kedengaran dengan jelas dari Penataran Agung.
Kalau suara gong sudah terdengar maka segala sesuatu menyangkut ritual sakral
penyambutan kedatangan iring-iringan Melasti itu sudah dapat mulai
dipersiapkan.
Setelah berhenti beberapa jam lamanya di
Pura Penataran barulah iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju
Penataran Agung Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung
segala sarana upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan. Yang sangat
menarik di Pura Pesimpangan ini adalah bentuk Pelinggih Limas Catu ini. Di
setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong Pertiwi tempat pemujaan leluhur
umat Hindu di seluruh Bali umumnya pada
Pelinggih Limas Catu yang dibangun di sebelah kanan Gedong Pertiwi. Limas
Catu itu pun juga sebagai pesimpangan Batara Gunung Agung di Besakih.
Sedangkan sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung sebagai pesimpangan Ida
Batara di Gunung Batur.
Limas Catu dan Limas Mujung wujud
umumnya sama tetapi yang berbeda tutup atapnya di puncak dari bangunan
tersebut. Kalau Limas Catu puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas
semakin mengecil yang dibuat dari ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya
ditutup dengan topi yang dibuat dari tanah liat beserta hiasannya yang ada
ukirannya. Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan Jagat yang
tergolong Pura Rwa Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media memuja
Tuhan untuk memohon keseimbangan hidup lahir dan batin. Pura Besakih memohon
kebahagiaan hidup rohaniah, sedangkan Pura Batur untuk memohon kesejahteraan
hidup lahiriah. Jadinya tujuan pemujaan leluhur di Merajan Gedong Pertiwi
adalah untuk memuja memohon kepada leluhur agar ikut serta memperkuat
pemujaan umat pada Tuhan untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir
batin. Karena itulah ada Pelinggih Pesimpangan Besakih dan Batur dalam wujud
Limas Catu dan Limas Mujung.
Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida
Batara di Besakih dapat dibuat dalam wujud besar, megah dan luas. Pemujaan
seperti itu kedudukannya sebagai pemujaan jagat masyarakat umat Hindu umumnya
tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih dalam keluarga yang lebih kecil
dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Di Merajan Gede di sebelah
kanan Gedong Pertiwi umumnya ada Pelinggih Limas Catu namanya. Pelinggih
inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan Ida Batara di Besakih sebagai Tuhan
dalam manifestasi sebagai Batara Siwa. Sarana pemujaan Tuhan yang ada di
mana-mana itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti dinyatakan dalam
petikan Kekawin Dharma Sunia di atas.
|
|
4.2
PURA DALEM PURI
|
|
4.6 Pura Merajan
Selonding
Pura Merajan Slonding
OM Svastyastu,
Daivadyantam tadiheta.
Pitrayantamna tad bhavet.
Pitradyantam tvihamanah.
Ksipram nasyati sanvayah.
(Manawa Dharmasastra, III.205).
OM Svastyastu,
Daivadyantam tadiheta.
Pitrayantamna tad bhavet.
Pitradyantam tvihamanah.
Ksipram nasyati sanvayah.
(Manawa Dharmasastra, III.205).
Maksudnya:
Melakukan pemujaan leluhur (upacara Sradha) hendaknya dilakukan mendahului pemujaan Dewa manifestasi Tuhan. Hendaknya pemujaan leluhur itu jangan berakhir dengan pemujaan leluhur saja. Kalau pemujaan leluhur berhenti pada pemujaan leluhur tidak dilanjutkan dengan pemujaan Dewa, keluarga itu akan cepat hancur bersama keturunannya.
Melakukan pemujaan leluhur (upacara Sradha) hendaknya dilakukan mendahului pemujaan Dewa manifestasi Tuhan. Hendaknya pemujaan leluhur itu jangan berakhir dengan pemujaan leluhur saja. Kalau pemujaan leluhur berhenti pada pemujaan leluhur tidak dilanjutkan dengan pemujaan Dewa, keluarga itu akan cepat hancur bersama keturunannya.
PURA Merajan Slonding tergolong salah satu dari kompleks Pura Besakih
yang memiliki kedudukan yang cukup penting. Pura ini terletak di sebelah utara
Pura Ulun Kulkul atau masyarakat menyebutnya di sebelah barat Pura Ulun Kulkul.
Pura ini tergolong Pura Soring Ambal-ambal. Pura Merajan Slonding adalah bagian
dari Merajannya Raja Kesari Warma Dewa. Meskipun seorang raja yang memiliki
wilayah kekuasaan yang luas di dalam rumah tempat tinggalnya yang disebut
istana atau puri selalu ada juga tempat pemujaan leluhur sang raja sebagai hulu
dari pekarangan purinya. Seorang raja sebagai kesatria memiliki kewajiban dan
tanggung jawab yang amat berat.
Dalam Manawa Dharmasastra I.89 dinyatakan kewajiban raja sebagai
kesatria adalah mengupayakan rasa aman
(Raksanam) dan kesejahteraan (Danam) untuk rakyatnya. Karena itu sebagai
kesatria diwajiban untuk setiap hari mengupayakan melakukan pemujaan kepada
leluhur dan kepada Tuhan, mempelajari Weda, melakukan upacara yadnya dan
mengusahakan pengekangan hawa nafsu (wisayeswaprasaktatih).
Karena demikian beratnya tugas-tugas seorang raja akan Merajan
tersendiri bagi seorang raja tentunya amat dibutuhkan untuk melakukan
kotemplasi spiritual untuk menguatkan diri bagi seorang raja. Di areal Pura
Merajan Slonding inilah tempat Merajan Raja Kesari Warma Dewa.Mengapa pura ini
disebut Merajan Slonding. Karena di pura ini sebagai tempat menyimpan suatu
alat musik tradisional yang disebut Slonding. Slonding ini adalah sejenis
gamelan Bali yang digunakan saat ada upacara keagamaan yang penting di pura
ini.
Gamelan Slonding ini disimpan di sebuah Pelinggih Gedong Penyimpenan
bertiang enam beratap ijuk. Di Gedong inilah disimpan Gamelan Slonding, lontar,
semua pratima dari semua pura yang tergolong Soring Ambal-ambal. Di Gedong ini
juga disimpan prasasti Bradah. Sedangkan berbagai busana sakral dengan perlengkapan
pura di Soring Ambal-ambal disimpan di Bale Pengangge.
Di samping itu ada juga Pelinggih Gedong Saraswati bertiang empat
beratap ijuk. Di Pura Merajan Slonding ini disebutkan sebagai Linggih Ida Ratu
Bagus Slonding. Ada juga Balai Piyasan sebagai tempat mengaturkan sesajen kalau
ada upacara besar. Yang cukup menarik perhatian kita adalah mengapa pratima dan
berbagai perlengkapan sakral dari Pura Soring Ambal-ambal disimpan di Pura
Merajan Slonding. Dari segi praktisnya sepertinya agak janggal. Karena cukup
merepotkan. Mengapa tidak cukup disimpan di masing-masing pelinggih dari Pura
Soring Ambal-ambal tersebut. Pura Soring Ambal-ambal ini adalah pura sebagai
tempat memuja Tuhan yang memberikan jiwa alam bawah.
Disatukannya pratima dan berbagai sarana sakral tersebut sebagai suatu
simbol bahwa di alam bawah tersebut meskipun Tuhan diberikan berbagai sebutan
yang berbeda-beda namun sumbernya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berstana Ida
Batara Ratu Mas Malilit di Pura Manik Mas, Ida Batara Ananta Bhoga di Pura
Bangun Sakti, Ida Batara Basukian di Pura Basukian, Ida Batara Naga Raja atau
Naga Tiga di Pura Goa Raja, dstnya.
Sebutan Tuhan sebagai jiwa alam itu hanya untuk mudah membeda-bedakan
fungsi dari sumber alam yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa tersebut. Karena
semua sumber alam tersebut tidak mungkin dapat berfungsi sebagaimana mestinya
tanpa ada kekuatan Tuhan yang memberikan makna. Ditempatkannya dalam satu
tempat semua pratima dan simbol-simbol sakral tersebut di Pura Merajan Slonding
nampaknya bukan semata untuk lebih mudah mengamankannya. Tetapi ada makna lain
untuk memberikan motivasi pada sang raja agar dalam membangun kemakmuran
rakyatnya dengan memberikan perhatian pada unsur-unsur alam yang disimbolkan
oleh semua pura di Soring Ambal-ambal.
Setiap ada upacara di masing-masing Pura Soring Ambal-ambal pratima dan
simbol-simbol sakral itu pasti diambil melalui prosesi ritual tertentu. Dari
Pura Merajan Slonding. Hal ini akan mengingatkan raja dan rakyat apa makna dari
masing-masing pemujaan di setiap pura di Soring Ambal-ambal tersebut.
Demikian juga saat mengembalikan tersebut sebagai suatu proses untuk
mengingatkan raja dan rakyat secara berulang-ulang apa makna dari pemujaan
tersebut. Dengan cara berulang-ulang itu seyogianya pemaknaan pemujaan itu
lebih dapat diwujudkan dengan lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik
oleh sang raja maupun dari rakyat sendiri.
Demikian juga adanya Gedong Saraswati sebagai suatu sarana untuk
mengingatkan raja dan rakyatnya agar dalam mengelola kehidupan bersama dalam
wadah negara kerajaan senantiasa menggunakan ilmu pengetahuan suci yang berasal
dari ciptaan Tuhan. Weda tersebut juga ibu atau Weda Mata. Karena dari Weda-lah
lahirnya dua macam ilmu yaitu Para Widya dan Apara Widya.
Para Widya adalah
ilmu pengetahuan rohani dan Apara Widya adalah ilmu pengetahuan duniawi. Dua
ilmu atau kalau diterapkan secara seimbang dan terpadu akan dapat membangun
kehidupan yang seimbang antara kehidupan rohani dan kehidupan duniawi. Seimbangnya
kehidupan rohani dan duniawi itulah yang akan membawa masyarakat bahagia lahir
batin.
4.7 Pura Gua
Keutara dari Pura Manik
Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki diistanakan. Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada
sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah
longsor. Dalam ceritera tentang perjalanan Dang Hyang
Sidimantra ke Besakih, diceriterakan bahwa di gua inilah beliau setiap
hari-hari tertentu mempersembahkan haturan kepada Hyang
Naga Basuki berupa empahan (susu), madu dan telur. Juga di
tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor
Naga Basuki, sehingga Dang
Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi kemudian
dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra
(Ayah dan Dang Hyang Manik Angkeran) dapat
memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong
itu. Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua
Lawah Klungkung, sehingga pernah terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua
Lawah, salah seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah
kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih.
Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang
duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalan
di pura Gua pada hari Buda Wage
Kelawu atau Buda Cemeng
Kelawu.
|
4.8 Pura Banua Kawan
Pura Banua Kawan terletak di sebelah timur
jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan. Di sini
diistanakan Batari Sri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu.
dahulunya di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung
padi untuk tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan
adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih,
artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah
dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup.
Makna
di Balik Simbol Pura Banua
Pura Banua merupakan salah satu kompleks
Pura Besakih yang berisi simbol-simbol sakral yang dapat kita gali nilai-nilai
simbolisnya. Ada nilai-nilai penuh makna di balik simbol yang berada di Pura
Banua tersebut. Secara umum Pura Banua itu adalah sebagai media
pemujaan pada Tuhan untuk memohon kekuatan spiritual agar
umat mampu mengelola kekayaan alam ciptaan Tuhan itu secara produktif dan
efisien. Seperti apa Pura Banua itu?
Sesungguhnya manusia lahir ke bumi ini
telah dibekali kekayaan berupa naluri untuk mempertahankan dan mengembangkan
hidupnya. Dalam Atharvaveda.VII.115.3 menyatakan bahwa sesungguhnya manusia
lahir dengan bekal kekayaan yang ada dalam dirinya. Kekayaan itu berupa naluri
untuk hidup dan berkembang. Hal itu tergantung pada manusia itu sendiri.
Manusia hendaknya berusaha untuk mengelola hidupnya dan menyingkirkan naluri
yang buruk dan mengembangkan naluri yang baik. Maksudnya upaya mencari kekayaan
itu hendaknya dibatasi untuk mengembangkan jati diri sebagai makhluk hidup
ciptaan Tuhan.
Sebagai
ciptaan Tuhan manusia memiliki kemampuan untuk menguasai dirinya agar tidak
terjebak oleh gejolak indrianya. Indria yang dapat dikuasai akan dapat menjadi
kekuatan untuk menguatkan eksistensi diri konsisten berjalan di atas jalan
dharma. Upaya untuk mengembangkan naluri hidup yang positif dan mencegah naluri
yang negatif tidak mudah dilakukan tanpa tuntutan doa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi mengelola sumber daya alam yang tergantung
pada hukum Rta. Untuk melindungi naluri yang positif itu Tuhan dipuja sebagai
Batari Sri sebagai Sakti Dewa Wisnu pelindung kekayaan. Adanya Pelinggih Gedong
sebagai sarana pemujaan Batari Sri sebagai media untuk mengembangkan spirit
dalam bentuk berbagai ide dan gagasan-gagasan untuk membangun kemakmuran bersama.
Ide maupun gagasan-gagasan tersebut
bersumber dari pengembangan spiritual dari proses pemujaan pada Batara Sri
sebagai manifestasi Tuhan. Dengan demikian ide maupun gagasan tersebut bersifat
strategis jangka panjang. Artinya ide dan gagasan
tersebut tidak akan sampai merusak alam itu sendiri sebagai sumber
mengembangkan kemakmuran. Kalau dari awal pengembangan kemakmuran itu dengan
pendekatan spiritual maka upaya mencari kemakmuran itu tidak akan bergeser dari
kemakmuran untuk hidup bukan kemakmuran untuk mengembangkan keserakahan.
Karena kalau rakus dasarnya maka
kemakmuran itu akan membawa malapetaka bagi manusia. Akan muncul ketidakadilan.
Dari ketidakadilan itu akan muncul permusuhan di antara sesama manusia. Karena
keserakahan itu muncul dari pengembangan naluri yang tidak baik. Atharvaveda
tersebut menyatakan agar manusia berusaha untuk membuang naluri-naluri kotor.
Dengan berkonsentrasi pada pemujaan pada Batari Sri itu sebagai media religius
untuk membendung dan membuang naluri kotor tersebut.
Pemujaan Batari Sri di samping dengan
media Pelinggih Gedong juga dengan media Dewa Nini yang disimbolkan dengan
seikat padi terpilih dengan hiasan ritual khas Hindu di Bali. Simbol Dewa Nini
ini mengandung makna agar ide-ide dan gagasan-gagasan tersebut diwujudkan dalam
tataran fragmatis, sehingga tidak mengawang-awang tanpa wujud. Simbol Dewa Nini
ini diambil dari padi terpilih agar menjadi contoh untuk terus dikembangkan
secara produktif dengan tetap memperhatikan aspek-aspek strategis jangka
panjang.
Simbol stana Dewa Nini ini menggunakan
padi sebagai simbolnya mengandung makna bahwa ide dan gagasan kemakmuran itu
benar-benar nyata wujudnya seperti padi dengan kualitas terpilih itu.
Kemakmuran itu hanya angan-angan saja. Dewa Nini ini di stanakan di bagian hulu
dari Jineng sebagai media penghormatan kepada Dewa Nini simbol Pradana dari
Batara Sri tersebut. Pradana adalah lambang wujud meterial sebagai wadah
Purusa.
Jineng atau lumbung itu adalah sebagai
tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang
lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar
penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat
dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara
tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak
benar.
Dalam Atharvaveda VII.115.4. dinyatakan
ada kekayaan yang menguntungkan dan ada kekayaan yang tidak menguntungkan.
Dalam Mantra Veda tersebut disertai dengan suatu doa semoga kekayaan yang
menguntungkan selalu menyertai dan kekayaan yang tidak menguntungkan menjauh.
Hal ini bermaksud agar manusia dalam menggunakan kekayaan itu tidak hanya
menggunakan pendekatan hawa nafsu semata.
Kekayaan itu merugikan karena cara
penggunaannya yang tidak menggunakan nilai-nilai kerohanian. Kekayaan tersebut
akan senantiasa menguntungkan kalau penggunaannya menggunakan pendekatan daya
spiritual dan kecerdasan intelektual. Agar daya spiritual itu berkembang maka
dalam mengelola kekayaan itu dilakukan pemujaan pada Dewi Sri Sakti Dewa Wisnu.
Lumbung itu simbol untuk memotivasi umat agar bisa hidup yang hemat dengan
tepat.
Agar pengelolaan kekayaan hasil bumi ini
ditiru oleh umat seluruhnya maka Jineng di Pura Banua ini adalah sebagai
induknya Jineng di seluruh Bali. Dalam Rgveda VIII.45.41 ada suatu doa sbb: Ya
Tuhan Yang Mahaesa, semoga melimpahkan kekayaan yang patut kami ditiru yang
tersimpan di pegunungan atau di bawah tanah atau yang terbenam di samudera yang
jumlahnya tak terhingga.
Mantra Rgveda ini dapat kita pahami
sebagai suatu doa agar dalam mengelola kekayaan bumi ini senantiasa mendapat
tuntunan Tuhan, sehingga pengelolaan kekayaan di bumi ini menjadi contoh bagi
masyarakat luas. Dewasa ini bumi sudah semakin rusak karena pengelolaan
kekayaan yang tersimpan di dalam bumi ini menggunakan pendekatan hedonistis.
Artinya bumi diolah untuk memenuhi kenikmatan inderawi tanpa kendali.
Adanya balai Pesamuan dengan delapan tiang
itu sebagai simbol bahwa dalam mengelola bumi ini dengan hasil-hasilnya
hendaknya dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat luas. Segala
sesuatu yang menyangkut kebutuhan bersama harus dipikirkan bersama dengan
semangat musyawarah, sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan. Kekayaan alam
yang dikandung bumi ini bukan untuk suatu golongan tertentu saja. Kekayaan
tersebut untuk semua umat manusia, termasuk makhluk hidup lainnya. Demikianlah
nampaknya nilai-nilai yang tersembunyi di balik simbol sakral di Pura Banua
Besakih.
4.9 Pura Banua Hulunya Lumbung di
Bali
|
Vaisyah krsivalah karyo-
gopah sasya bhrtvratah, vartayukto grhopatah- ksetra palo tha Vaisyah. (Slokantara, 37)
Maksudnya:
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang.
BERTANI dan beternak merupakan mata
pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang
maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang
sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja
di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk
mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.
Tugas petani sebagai Vaisya Varna di
samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat
mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup
sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup
sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan
pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja.
Pekerjaan itu harus dilakukan dengan
ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang
hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan.
Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar
semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana
menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini
adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu.
Hidup produktif dan hemat itu
ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali.
Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup
yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang
disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa
Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran. Pura Banua ini salah satu kompleks Pura
Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak
bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung
Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian
sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah
pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan
hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang
paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai
stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai
Dewa Kemakmuran.
Di pura ini ada sebuah jineng dalam
ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang
lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga
bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba
Pura Besakih disimpan. Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya
menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai
simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi
yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau
keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin
karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak
lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan
cara tradisi seperti dahulu.
Sesungguhnya adanya jineng itu jangan
dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu
hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral
berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan
hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk
dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar
ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur
secara berkelanjutan.
Untuk masyarakat awam ajaran agama yang
abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah
berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa
lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu
manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa
Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini
di lumbung pura.
Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit
kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa
atau Purusa-nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau
Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu
disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan sibol Dewa Nini itu
tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi
untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.
Ini artinya seikat padi terpilih
sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga
memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada
petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya. Di Pura
Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada
juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai
Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat
dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para
pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya
masing-masing.
Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa
dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan
sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan
musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan
dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut
Jyothisa.
Di samping ditentukan oleh musim bertani
itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat
menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi
pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama
itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua
informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang
dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.
|
Pura Merajan Kangin
Resi yadnya ngarania kapujan ring sang
pandita, muang sang wruh ring kalingganing dari wwang (Dikutip dari Agastia
Parwa).
Maksudnya:
Resi yadnya namanya berbakti pada beliau Sang Pandita dan mereka yang paham akan hakikat hidup sebagai manusia.
Resi yadnya namanya berbakti pada beliau Sang Pandita dan mereka yang paham akan hakikat hidup sebagai manusia.
HAKIKAT
mengabdi pada kehidupan di dunia ini membutuhkan bimbingan guru yang sudah
mencapai tingkatan hidup Pandita Acarya. Berguru pada Pandita Acarya itu bukan
semata-mata untuk mendalami sastra kerohanian semata. Demikian juga tujuan
belajar bukan semata-mata mencari keterampilan untuk mencari nafkah.
Tujuan berguru
adalah agar memiliki kemampuan untuk menjalani hidup yang baik dan benar sesuai
dengan norma yang ditetapkan dalam kitab suci. Termasuk di dalamnya berbakti
pada guru yang berjasa memberikan kita ilmu dengan sejujur-jujurnya dan juga
memberi penerangan jiwa sesuai dengan pertumbuhan diri kita masing-masing.
Demikian
jugalah Ida Manik Angkeran, putra Mpu Siddhi Mantra dari Jawa
Timur, memiliki tempat pemujaan keluarga di kompleks Pura
Besakih yang disebut Merajan Kanginan. Ida Manik Angkeran adalah seorang
pengabdi yang tulus untuk ikut serta dalam mengeksistensikan dinamika Pura
Besakih sebagai tempat pemujaan umat Hindu di seluruh Bali.
Sebagai
pengabdi yang tulus, Ida Manik Angkeran tentunya mendapat bimbingan dari para
rohaniwan yang sudah sekaliber Pandita Acarya. Karena itulah di Merajan tempat
pemujaan keluarga beliau dibangun juga Pelinggih Gedong yang khusus untuk
memuja Mpu Beradah, salah satu guru spiritual Ida Manik Angkeran yang telah
mencapai status Pandita Acarya. Merajan ini kemungkinan tidak diberikan sebutan
khusus. Umatlah yang kemudian menyebutnya Merajan Kanginan.
Umumnya umat
melihat Merajan Ida Manik Angkeran ini terletak di sebelah timur Pura Banua
tempat memuja Batara Sri dan juga pusat Jineng atau lumbung umat Hindu di Bali. Sesungguhnya letak Merajan Kanginan ini adalah agak
di selatan Pura Banua kalau dilihat dengan alat kompas.
Di Merajan
Kanginan ini ada sepuluh pelinggih utama dan pelinggih pelengkap. Lima pelinggih terletak di areal dalam atau jeroan pura dan
lima lagi terletak di areal tengah atau jaba tengah. Pelinggih di jeroan pura
itu ada Pelinggih Balai Pengaruman dan yang di sebelahnya ada pelinggih yang
disebut Gedong Busana di sudut pura.
Di Pelinggih
ini ditempatkan berbagai perlengkapan sakral dari semua Pelinggih Pura Merajan
Kanginan seperti busana dan perlengkapan lainnya. Di sebelah kiri dari Gedong
Busana ini terletak pelinggih yang disebut Balai
Tegeh. Pelinggih Balai Tegeh ini bertiang empat dan beratap ijuk.
Fungsi utama
Pelinggih Balai Tegeh ini adalah sebagai Pelinggih Batara Tirtha. Umat Hindu di
Bali pada zaman dahulu kalau yang daerahnya diserang
hama semut umumnya mohon kekuatan spiritual dengan mohon Tirtha di Pura Merajan
Kanginan ini sebagai sarana sakral untuk menghilangkan hama semut tersebut.
Di areal dalam
atau jeroan pura terdapat Pelinggih Gedong Simpen yaitu pelinggih dengan tiang
empat beratap ijuk sebagai Pelinggih untuk Mpu Beradah. Mpu Beradah inilah
sebagai salah satu Pandita Acarya dari yang memiliki jasa besar bersama-sama
pandita yang lainnya dalam menanamkan kehidupan beragama Hindu di Bali. Di
areal jeroan juga terdapat pelinggih yang disebut Balai Pengaruman sebagai
tempat menata berbagai keperluan upacara yang bertujuan untuk menjaga kesucian
Pura Merajan Kanginan tersebut.
Di jaba tengah
Pura Merajan Kanginan ini terdapat Pelinggih Pelengkap yaitu ada Balai
Paebatan, dapur, Bebaturan, Balai Gong dan Balai Kulkul. Meskipun semuanya itu
sebagai bangunan pelengkap, tetapi semuanya memiliki nilai yang tinggi sebagai
media untuk mengembangan kehidupan yang berkualitas.
Misalnya ada
balai paebatan dan agar dalam menyiapkan berbagai sarana yang berupa makanan
dilakukan dengan sebaik-baiknya. Salah satu syarat yadnya yang disebut Satvika
Yadnya menurut Bhagawad Gita XVII.13 adalah adanya suguhan makanan yang disebut
srsta annam, artinya makanan yang Satvika.
Dalam tradisi
Hindu di India adanya suguhan makanan dalam setiap ada upacara yadnya disebut
anna seva. Karena dalam Manawa Dharmasastra ada dinyatakan bahwa betapa pun
besar dan mahalnya suatu upacara yadnya kalau ada orang yang kelaparan di
sekitar upacara yadnya tersebut maka yadnya tersebut tidak akan berhasil meraih
karunia Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu setiap melangsungkan
upacara yadnya selalu disertai dengan jamuan makanan kepada para atithi yadnya
atau tamu yang hadir diundang dalam upacara yadnya tersebut.
Adanya dapur
dan balai paebatan di pura tersebut untuk menyiapkan berbagai keperluan upacara
yadnya baik sebagai sarana kelengkapan upacara maupun untuk menjamu para tamu
upacara. Tujuan adanya dapur dan balai paebatan itu untuk menyiapkan agar
makanan tersebut makanan suci atau Satvika Ahara.
Melalui simbol
dapur suci dan balai paebatan itu diharapkan umat agar dalam mencari makanan
dan juga menyiapkan makanan menggunakan cara-cara yang dibenarkan oleh dharma
dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya saat ada upacara saja umat menyiapkan
makanan dengan cara-cara yang suci, tetapi justru upacara itu sebagai proses
memotivasi umat agar dalam kehidupannya sehari-hari justru selalu mencari dan
juga memilih dan menyiapkan makanan dengan cara-cara yang suci.
Demikian juga
adanya Balai Kulkul dan Balai Gong di pura tersebut memiliki makna yang dalam
juga. Balai Kulkul itu sebagai simbol untuk mengupayakan terpeliharanya
keamanan atau santiraksa. Salah satu tujuan berbakti pada Tuhan adalah untuk
mengembangkan upaya bersama untuk bisa menciptakan rasa aman dan damai dalam
kehidupan bersama itu. Dalam Manawa Dharmasastra pun pada Ksatria diwajibkan
oleh Hyang Widhi agar berusaha untuk memberikan rasa aman (Raksanam) dan
sejahtera (Dhanam) kepada masyarakat (Praja). Rasa aman dan sejahtera dalam
masyarakat merupakan kebutuhan hidup yang paling utama dalam kehidupan di dunia
ini.
Demikian juga
adanya Balai Gong di Jaba Tengah Pura Merajan Kanginan ini sebagai simbol
adanya keindahan dari seni dalam mewujudkan ajaran agama. Umat Hindu mengenai
ajaran Satyam, Siwam dan Sundaram. Maksudnya agar umat menggunakan kesenian
yang indah itu (Sundaram) untuk mewujudkan kebenaran (Satyam) dan kesucian
(Siwam). Keindahan seni akan mubazir kalau bukan untuk Satyam dan Siwam.
Pura Jenggala
Arca Pandita dan Garuda di Pura
Jenggala
OM Svastyastu,
OM Svastyastu,
Di
Pura Jenggala atau Pura Hyang Haluh di samping terdapat pelinggih Gedong
sebagai pelinggih utama, terdapat juga dua buah Pelinggih Balai Pepelik dan
sebuah Pelinggih Bebaturan, serta sebuah Pelinggih Panggungan untuk meletakkan
sesajen. Yang patut kita renungkan lebih dalam adalah adanya Arca Pandita atau
Resi dan Arca Garuda. Mengapa arca-arca di Pura Jenggala itu begitu penting
diketahui makna dan simboliknya?
Arca
Pandita atau Resi di sini menggambarkan bahwa dalam kehidupan di dunia ini
upaya untuk mengikuti tradisi kehidupan kepanditaan. Dalam Sarasamuscaya 40
yang dinyatakan sumber dari Dharma adalah Sruti atau Mantra Veda Sabda Tuhan.
Smrti adalah hasil renungan dari para resi setelah mempelajari Mantra Veda.
Dari Mantra Veda Sruti itulah para resi mengingat-ingat kembali apa yang dipelajari
dari Weda.
Dari
renungan itulah para Resi menyusun kitab-kitab Smrti agar umat pada umumnya
lebih mudah mengamalkan Dharma intisari dari Weda tersebut. Isi dari Smrti
itulah juga sumber dari Dharma pula. Seorang dapat disebut resi apabila sudah
dapat mendalami isi Weda tersebut sampai ia disebut sang Sista. Kebiasaan hidup
para Pandita Resi yang Sista itu juga disebut sebagai sumber Dharma. Seseorang
akan dapat mengatasi gelombang hidup duka dan duka di dunia ini apabila ia
senantiasa berpegang pada Dharma yang didapatkan dari Sruti, Smrti dan
Sistacara.
Arti
Sistacara ini adalah tradisi hidup pandita ahli. Pengertian ahli di sini bukan
ahli seperti ilmuwan dewasa ini. Sista tersebut adalah pandita yang sudah
berhasil menghayati dengan sempurna Dharma yang terdapat dalam Weda Sruti dan
Weda Smrti. Bukti keberhasilannya itu akan tampak dalam kebiasaan hidupnya
sehari-hari.
Kebiasaan
hidup Pandita yang Sistacara itulah yang dapat dijadikan pedoman hidup untuk
mengatasi hiruk-pikuknya gelombang suka dan duka. Orang yang dapat mengatasi
suka duka itulah yang dapat disebut sudah mencapai Atmanastuti atau hidup
dengan kepuasan Atman. Mereka selalu hidup bahagia meskipun ada dalam keadaan
suka dan duka. Artinya hiruk-pikuk kehidupan di luar dirinya sudah tidak mampu
mengintervensi jiwanya. Inilah yang disebut dengan Atmanstusti sebagai tujuan
dari pengamalan Weda.
Hal
ini juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra II.6. Sruti diamalkan menjadi
Smrti atau Dharmasastra. Dari Smrti inilah terus dirumuskan ke dalam kitab-kitab
Sila seperti Itihasa dan Purana. Dalam kitab tersebut Sila itu dijabarkan dalam
wujud cerita yang mengandung nilai sejarah. Karena itu disebut Itihasa. Kata
Itihasa dalam bahasa Sansekerta artinya sejarah. Sejarah pengamalan Dharma
inilah yang dikaryasastrakan oleh para resi menjadi Itihasa dan Purana atau
histori yang distorikan bagaikan karangan dalam bentuk roman sejarah.
Dengan
adanya Arca Resi dan Pura Jenggala ini hendaknya umat dalam mengatasi gelombang
suka dan duka dalam hidup di dunia ini melakukan Resi Yadnya. Dalam kitab
Agastia Parwa Resi Yadnya dinyatakan: Resi Yadnya ngarania kapujang ring Sang
Pandita muang sang wruh ring kalingganing dadi wwang. Artinya, Resi Yadnya
namanya berbakti pada pandita dan paham akan hakikat diri sebagai manusia.
Agar kita dapat memahami hakikat diri
hidup sebagai manusia rajinlah secara teratur membacakan kitab sastra suci
karya para resi. Dengan rajin membaca kitab-kitab sastra suci itu kita akan
mendapatkan pencerahan diri secara bertahap sampai kitab benar-benar paham akan
hakikat hidup di dunia ini. Dengan pemahaman itu seseorang akan dapat
menyelenggarakan hidup ini lebih elegan tak mudah diombang-ambingkan oleh
hiruk-pikuknya zaman Kali ini.
Adanya Arca Garuda di Pura Jenggala ini
juga menggambarkan bahwa garuda itu adalah nama dewa yang dinyatakan dalam Weda
dengan sebutan Dewa Ga rutma. Tetapi Arca Garuda ini kemungkinannya diambil
dari cerita Amerta Mantana atau ceritra Mandara Giri dari kitab Adi Parwa. Resi
Kasyapa memiliki dua istri yaitu Dewi Winata dan Dewi Kadru. Dua istrinya ini
diberikan dua buah telor untuk dikeram.
Ternyata telor yang diberikan kepada
Dewi Kadru menetas menjadi ribuan naga. Karena diikat suatu perjanjian, Dewi
Winata menjadi budaknya naga putra Dewi Kadru. Setelah Dewi Winata berputra
Garuda barulah dia dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga karena
digantikan oleh Garuda. Garuda juga dapat membebaskan dirinya dari perbudakan
naga setelah mendapatkan Tirtha Kamandalu dari Batara Wisnu. Garuda mendapatkan
air suci itu setelah bertempur dengan para dewa di sorga. Puncak cerita Dewa
Wisnu akan memberikan Tirtha suci tersebut kalau Garuda mau menjadi wahana atau
kendaraan Dewa Wisnu. Garuda pun amat bersedia menjadi wahana Dewa Wisnu.
Dengan Tirtha suci itulah Garuda dapat membebaskan dirinya dari perbudakan
naga. Cerita tentang Garuda sesungguhnya cukup panjang diceritakan di kitab Adi
Parwa.
Yang utama direnungkan adalah makna Arca
Garuda dalam membebaskan dirinya dari perbudakan naga ini. Kata naga di samping
berarti ular besar juga berarti dunia. Ini artinya manusia atau Atman kita akan
dapat mencapai sorga apabila manusia dapat membebaskan diri dari perbudakan
dunia yang fana ini. Ini bukan berarti kita harus hidup menjauhi dunia. Yang
penting dunia ini jangan menjadi tujuan kita.
Dunia yang fana ini adalah alat atau
media manusia mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia sekala dan niskala.
Hal ini akan dapat dicapai apabila kita mendapatkan persatuan dengan Tuhan
sebagai Garuda menjadi alat wahananya Dewa Wisnu. Tirtha Kamandalu itu adalah
simbol suci untuk mencapai kehidupan yang baik, tidak melalui pengumbaran hawa
nafsu. Justru kehidupan yang mulia itu dicapai dengan melalui pengendalian
nafsu atau Kamandalu. Hidup bahagia itu bukan dengan pengumbaran hawa nafsu.
Dengan itulah Sang Hyang Atma akan mendapatkan peningkatan terus di Para Loka
sampai mencapai apa yang disebut Moksa Loka. Itulah tujuan tertinggi dari
upacara Pitra Yadnya.
Pura Jenggala, Hulu Prajapati di
Bali
Nityamewa sukham svarge sukham
duhkhamilobhayam. Narake duhkhamevaitam mokse tu paraman sukham. (Sarasamuscaya
362)
Maksudnya
Di Sorga Loka hanya kegembiraan yang dirasakan. Di dunia yang fana ini suka duka yang dirasakan silih berganti. Di neraka loka penderitaan saja yang dirasakan. Tetapi di Moksha Loka, kebahagiaan yang terluhur yang didapatkan.
Di Sorga Loka hanya kegembiraan yang dirasakan. Di dunia yang fana ini suka duka yang dirasakan silih berganti. Di neraka loka penderitaan saja yang dirasakan. Tetapi di Moksha Loka, kebahagiaan yang terluhur yang didapatkan.
Salah satu kompleks Pura Besakih ada yang
bernama Pura Jenggala. Pura ini juga disebut oleh umat Pura Hyang Haluh. Pura
ini terletak di sebelah kanan Candi Bentar Pura Panataran Agung di seberang
jalan atau di sebelah utara jalan atau menurut pengelihatan umum di barat jalan
berseberangan dengan Candi Bentar Pura Penataran Agung Besakih.
Mengapa pura ini bernama Pura Jenggala dan
Pura Hyang Haluh, saya belum menjumpai sumber penjelasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Apa ada hubungannya dengan Kerajaan Jenggala di Jawa
Timur, hal tersebut sungguh masih sangat samar sekali.
Namun dari kata Hyang Haluh kemungkinan
lain nama dari sebutan Ida Ratu Ayu. Kata Hyang artinya yang suci. Kata Haluh
mungkin berasal dari kata Galuh yang menunjukkan identitas wanita cantik atau
ayu. Dengan demikian Hyang Haluh itu identik atau juga lain nama dari Ida Ratu
Ayu. Pelinggih utama di Pura Jenggala atau Hyang Haluh ini adalah sebuah Gedong
beratap ijuk sebagai tempat pemujaan Ida Ratu Ayu. Ida Ratu Ayu ini adalah
salah satu manifestasi Siwa Durgha sebagai penguasa Setra
.
Di setra desa pakraman umumnya disebut
Sedahan Setra ada juga yang menyebut Siwa Bairawa. Pura Jenggala ini oleh Desa
Pakraman Besakih difungsikan sebagai Pura Prajapati. Saat ada orang ngaben di
pura inilah dilangsungkan upacara ngendagin atau ngebug tanah untuk
membangunkan roh orang yang akan diaben. Caranya dengan memukul tanah tiga kali,
tentunya dengan suatu ritual tertentu.
Upacara ini ada juga yang dipimpin oleh
Pandita Dwijati. Memukul tiga kali ini adalah suatu simbol kebaikan atau
kesucian. Tiga kali itu simbol tujuan prosesi upacara Pitra Yadnya untuk
mengantarkan Atman yang meninggal dari Bhur Loka dan terus diharapkan mencapai
Swah Loka. Dalam Lontar Gayatri dilukiskan bahwa saat orang itu meninggal Atman
atau rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben melalui Ngaskara maka
rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atman Wedana seperti upacara
Nyekah, Memukur atau Maligia maka Sang Hyang Atma sebutannya meningkat menjadi
Dewa Pitara.
Saat roh masih dalam status Preta
keluarganya belum mampu menyelenggara upacara ngaben maka roh yang disebut
Preta itulah yang distanakan di Pura Prajapati. Sedangkan stana sementara Sang
Roh adalah Sanggah Cukcuk yang umumnya ditancapkan di bagian hulu kuburan. Saat
itulah ada upacara matur piuning atau permakluman dan permohonan kepada Sang
Hyang Sedahan Setra yang berstana di Prajapati.
Kalau sudah saatnya akan melaksanakan
upacara ngaben tiga hari sebelumnya ada proses upacara ada yang menyebut
upacara ngendagin atau upacara ngebug tanah yang bertujuan memanggil sang roh
yang masih dalam status Preta dengan permakluman atau atur piuning pada Sedahan
Setra yang di Pura Jenggala disebut Ida Ratu Ayu lain sebutan dari Sang Hyang
Siwa Durgha.
Jadinya Pura Prajapati itu adalah salah
satu bagian dari simbol Para Loka tempat sementara sang Preta berada sebelum
diupacarai oleh keluarganya yang masih hidup. Keberadaan Para Loka ini harus
diyakini sebagai umat Hindu. Kalau tidak yakin pada keberadaan Para Loka ini
menurut Sarasamuscaya 110 maka kita akan sengsara dalam hidup ini dan kelak.
Menurut Lontar tentang Pitra Yadnya
seperti Yama Purana Tattwa menyatakan bahwa kalau roh yang masih berstatus
Preta itu tidak distanakan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya maka
sang roh akan menjadi apa yang disebut Atma Diyadiyu dan akan gentayangan ke
desa-desa mengganggu kehidupan di dunia sekala. Mensatnakan roh yang masih
berstatus Preta itu dilakukan dengan Tirtha Pengentas Tanem. Nanti kalau sudah
ngaben akan dilanjutkan dengan Tirtha Pengentas Pemuput.
Demikianlah fungsi Pura Prajapati yang
hulunya di Pura Jenggala di kompleks Pura Besakih. Kemungkinan istilah Jenggala
ini berasal dari kata Jeng dan Gala. Jeng artinya sebutan kehormatan untuk
wanita dan kata gala dalam bahasa Jawa kuno artinya lampu penerangan. Mungkin
pula kata jeng itu berasal dari kata Rahajeng yang artinya rahayu atau selamat.
Dan dari kata gala yang berarti lampu ini menjadi kata galang.
Dengan demikian tujuan dari permohonan
kepada Sedahan Setra atau Ida Ratu Ayu ini agar roh yang masih Preta ini
terus-menerus mendapatkan penerangan kerahayuan dari Tuhan yang disebut Ida
Ratu Ayu atau Sedahan Setra. Dengan demikian istilah Jenggala adalah sebutan
lain dari Ratu Ayu sebagai Dewi yang berfungsi memberikan penerangan kepada roh
yang masih berada di bawah pengawasan Ida Ratu Ayu yang berstana di Pelinggih
Gedong di Pura Jenggala itu.
Sebelum dilakukan upacara ngaben roh atau
Preta yang berada di Setra mendapatkan penerangan di setra lewat Pura
Prajapati. Karena saat masih hidup di dunia sekala ini manusia terus-menerus
menghadapi gelombang suka dan duka. Barang siapa yang bisa tidak kacau atau
dapat mengendalikan diri dalam gelombang suka duka di dunia sekala ini ialah
dapat disebut manusia hidup berbahagia.
Dalam Bhagawad Gita II.15 ada dinyatakan
Samaduhkham dhiram. Artinya, Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka.
Karena di dunia ini hidup akan selalu menghadapi suka dan duka sebagaimana
dinyatakan dalam kutipan Sarasamuscaya di atas. Roh yang masih di setra di
bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut statusnya masih dalam proses menuju
sorga atau neraka. Karena itu perlu diupacarai ngaben. Upacara ngaben itu hanya
menambah karma baik dari sang roh kalau ngaben itu dilakukan dengan upacara
Satvika Yadnya atau upacara yadnya yang berkwalitas. Tetapi kalau sebaliknya
justru dapat menambah dosa. Karena yang paling menentukan adalah karma yang
bersangkutan. Kalau lebih banyak karma buruk yang diperbuat upacara ngaben itu
hanya menambah karma baiknya saja, sehingga karma buruknya sedikit berkurang.
Hanya permohonan umat agar leluhur yang diaben mendapatkan sorga.
Pura Basukihan
Di kaki Pura
Penataran Agung Besakih yaitu di sebelah kanan kalau kita akan
menaiki tangga Pura Penataran Agung, terdapat sebuah pura yang pelinggih
induknya berupa meru tumpang pitu (tingkat tujuh). Pura ini bernama
Pura Basukihan di tempat mana menurut perkiraan para sulinggih, Danghyang Markandeya menanam Pedagingan Pancadatu (lima
jenis logam dengan kelengkapan upakaranya).
Pura Basukihan, Pura
Penataran Agung dan Pura Dalem
Puri adalah induk dari Kahyangan
Tiga di desa-desa yaitu pura Puseh,
pura Desa
dan pura Dalem.
Dari kelengkapan palinggih-palinggih yang terdapat di masing-masing
pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata
cara membangun suatu pura, nampak bahwa pura Basukihan itu adalah pura Puseh
Jagat, Pura Penataran Agung berfungsi sebagai pura Desa Jagat dan Pura
Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat. Dengan demikian Pura Basukihan,
Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah pusat dan semua pura Puseh,
pura Desa dan pura Dalem yang terletak di manapun, sehingga pura Besakih secara keseluruhan adalah pura Penyungsung
Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari
Piodalannya jatuh pada hari Buda Wage
Kelawu atau Budha
Cemeng Kelawu.
|
Perjalanan
Mpu Markandeya
|
Singkat cerita, dari Gunung Raung di Jawa Timur, beliau beserta penduduk sekitar melakukan
migrasi merambah hutan ke Pulau Bali. Ekspedisi
pertama ini gagal total. Banyak pengikut beliau yang mati karena sakit atau
karena binatang hutan raya (macan, ular, dll). Beliau dan sisa pengikutnya
lalu kembali ke Gunung Raung.
Melalui tapa beliau kembali mendapat
wahyu, agar sebelum merambah hutan, mengadakan upacara "panca
dathu" di kompleks pertapaan dan pemujaan kuno di Gunung Agung. Dan
kalau ada pengikut beliau yang sakit agar disembuhkan di campuhan yang suci.
Ekspedisi kedua lalu dilakukan dan disesuaikan dengan wahyu yang beliau
dapatkan, karena itu ekspedisi ini berhasil.
Tempat beliau mengadakan upacara
"panca dathu" kini menjadi Pura Basukian dan kompleks pertapaan dan
pemujaan kuno di Gunung Agung itu menjadi Pura Besakih. Campuhan tempat
beliau menyembuhkan pengikut-pengikutnya yang sakit adalah campuhan di Ubud yang saya ceritakan di-awal jawaban ini. Diatas
campuhan ini pengikut beliau lalu mendirikan Pura Gunung Lebah. Pesraman
beliau kini menjadi Pura Gunung Raung di Desa Taro (di utara ubud, di barat
tampaksiring). Warisan beliau yang sampai saat ini masih lestari adalah
sistem BANJAR dan sistem pengairan SUBAK. Maharsi Markandeya sangat besar
perannya di dalam perkembangan Agama Hindu di bali.
|
Sekilas
tentang penataran agung
|
Pura Batu Madeg
Kalau dari Pura
Penataran Agung, Pura Batu Madeg dapat dicapai dengan berjalan kaki ke utara
disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat. Pura ini cukup
luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru.
Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara
Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari
penanggal 5 sasih kelima
dan Benaung Bayu pada hari tilem
sasih kelima.
Palinggih-palinggih
di Pura Batu Madeg antara lain:
- Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak yang bersemadhi di palinggih ini.
- Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.
- Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.
- Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik Bungkah.
- Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus Babotoh.
- Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
- Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila akan membuat empelan (bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air.
- Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Buncing.
- Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, Sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.
- Bale Tegeh Palinggih Lingga.
- Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagi Hyang Wisnu.
- Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
- Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
- Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri di Bale Pelik bagian Timur.
- Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar.
Bila terdapat
karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di pura Batu
madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias
dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider, Lelontek,
Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.
Aci
Penaung Bayu'' di Pura Batu Madeg
Salah satu
upacara yang diselenggarakan di Pura Batu Madeg setiap Tilem Sasih Kesanga
adalah Aci Penaung Bayu. Upacara ini sejatinya bertujuan untuk mengisi atau
menguatkan tenaga kepada semua makhluk hidup. Apa sesungguhnya makna yang dapat
dipetik dari upacara tersebut?
Jika diartikan secara harfiah, penaung bayu berasal
dari kata penaung dan bayu. Penaung berasal dari kata ''naung'' yang dalam
bahasa Bali artinya mengisi atau menambahkan. Sedangkan ''bayu'' dalam bahasa
Bali artinya tenaga. Tetapi, ada juga yang mengartikan angin. Kadang-kadang ada
juga yang mengartikan darah, tergantung konteks kalimatnya. Dengan demikian
kata ''penaung bayu'' artinya menambah tenaga.
Tenaga dalam
makhluk hidup bersumber dari makanan.
Hal itu jelas dinyatakan dalam Bhagawad
Gita III. 14 bahwa kehidupan makhluk hidup berasal dari makanan. Sementara
makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari air atau
hujan. Adanya hujan karena yadnya dari proses alam. Yadnya itu adalah karma.
Karma berarti kerja atau perbuatan. Hujan akan jatuh apabila manusia senantiasa
berbuat untuk menjaga lestarinya sumber-sumber makanan. Sumber makanan itu
adalah tumbuh-tumbuhan sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita di atas.
Upacara Penaung Bayu ini sebagai media
untuk mengingatkan umat lewat ritual sakral agar secara spiritual semakin sadar
bahwa memelihara sumber-sumber tenaga hidup sesuatu yang amat penting. Karena
itu setiap umat manusia di kolong langit ini wajib memelihara sumber-sumber
makanan tersebut. Dewa Wisnu adalah manifestasi Tuhan sebagai dewanya air. Air
itu berasal dari hujan. Hujan merupakan proses alam, dari air laut yang menguap
menjadi mendung. Karena proses alam, mendung itu menjadi hujan. Kalaupun ada
hujan, jika hutan tak terpelihara dengan baik, air hujan itu akan bablas
mengalir ke laut lagi. Kalaupun ada hutan, jika tidak terpelihara dengan baik,
apalagi daerah resapan tidak berfungsi maka siklus hidup sarwa prani tidak bisa
berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, Aci Penaung Bayu ini memiliki arti
yang sangat luas dan universal dalam wujud lokal. Sebab, Penaung Bayu artinya
terus-menerus menguatkan dan memelihara tenaga kehidupan. Memelihara tenaga
hidup itu ada dua, yaitu di bhuwana alit dan bhuwana agung. Di bhuwana agung
manusia harus membantu proses alam untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan sebagai
bahan makanan utama dari semua makhluk hidup. Manusia harus bekerja agar proses
alam itu benar-benar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya untuk menghasilkan
bahan makanan berupa tumbuh-tumbuhan.
Selanjutnya manusia harus juga
mendapatkan bahan makanan itu dengan cara yang benar. Jika makanan yang
diperoleh dengan cara melanggar dharma, itu dapat mengotori jiwa. Demikian juga
manusia harus dapat memilih makanan yang satvika. Mengkonsumsi makanan yang
satvika sangat dianjurkan oleh sastra suci agama Hindu seperti dalam Bhagawad
Gita. Memasukkan makanan ke bhuwana alit harus makanan yang terpilih atau yang
satvika. Demikian juga jenis makanan itu harus juga seimbang. Di samping itu,
memasak makanan harus juga dengan cara yang benar dan tepat, sehingga tidak
kehilangan zatnya yang berguna bagi hidup. Demikian juga orang yang memasak
makanan itu harus berjiwa murni agar makanan tidak terkontaminasi oleh sifat
buruk orang yang memasaknya.
Dalam ilmu kesehatan juga dinyatakan
bahwa makanan itu akan tidak dapat memberikan tenaga atau bayu yang prima kalau
pola makannya juga tidak benar. Kalaupun pola makan itu benar dan tepat, kalau
gaya hidup atau vihara seseorang tidak mendukung, makanan itu juga bisa tidak
berfungsi prima memberikan tenaga atau bayu kepada manusia dan makhluk hidup.
Aci Penaung Bayu di Pura Batu Madeg
memiliki dimensi yang sangat luas dan universal, karena menyangkut aspek yang
sangat esensial dalam hidup ini. Karena itu sangat diperlukan upaya nyata untuk
menegakkan dan menyebarluaskan makna dari nilai-nilai universal yang dikandung
oleh upacara Aci Penaung Bayu di Pura Batu Madeg. Sebab, pada hakikatnya
Penaung Bayu itu sebagai upaya untuk terus-menerus menjaga kesehatan, kesegaran
dan kebugaran hidup manusia agar dapat memelihara aspek-aspek yang menyangkut
penguatan tenaga hidup yang disebut bayu tersebut. Ia tidak semata menjaga
kecukupan tumbuh-tumbuhan bahan makanan saja. Tetapi menyangkut aspek yang
demikian luas agar semua makhluk hidup dapat terus-menerus memiliki tenaga yang
memadai agar ia dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kodratnya.
Manusia sebagai ciptaan Tuhan harus
cerdas mengembangkan berbagai sumber tenaga hidupnya seperti tumbuh-tumbuhan
dengan beraneka jenisnya. Jangan sampai Indonesia yang sumber daya alamnya amat
kaya, tetapi sampai kekurangan bahan pangan. Bila perlu masyarakat Indonesia
berusaha secara terus-menerus melatih penduduknya untuk mengembangkan konsep
makanan yang berasal dari aneka tumbuh-tumbuhan. Jangan hanya tergantung pada
beras semata.
Tujuan Aci Penaung Bayu adalah untuk
mendoakan dan dengan usaha nyata agar semua makhluk hidup senantiasa dapat
terus-menerus menjaga tenaga hidup atau bayu. Ini berarti banyak sesungguhnya
umat manusia memiliki peluang untuk mengembangkan berbagai jenis sumber bahan
makanan agar tidak tergantung pada satu jenis sumber tenaga hidup atau bayu
saja. Dalam menyelenggarakan Aci Penaung Bayu di Pura Batu Madeg sesungguhnya
banyak hal yang dapat diprogramkan secara nyata untuk menjaga segala jenis
sumber tenaga hidup di bumi ini.
Memuja
Dewa Wisnu di Pura Batu Madeg
|
Ma kakambiram ud vrho navaspatim
asastir vi hi ninasah. (Regveda VI.48.17}
Ma apo himsir, ma aosadhir hmsaih. (Yajurveda VI.22).
Maksudnya:
Janganlah menebang pepohonan sembarangan, karena pohon itulah yang
menyingkirkan pencemaran.
Janganlah mencemari air dan menyakiti
tumbuhan, karena ialah yang memberikan kita kehidupan. Pura Batu Madeg adalah
tempat suci umat Hindu yang terletak di utara Pura Penataran Agung Besakih.
Disebut Pura Batu Madeg karena di pura tersebut terdapat sebuah batu yang
tegak. Batu madeg dalam bahasa Bali diartikan batu tegak berdiri. Batu Madeg
dalam ilmu arkeologi disebut menhir, pada zaman kebudayaan megalitikum.
Batu Madeg ini simbol pemujaan Batara
Ida Ratu Sakti Watu Madeg manifestasi Ida Batara Wisnu dalam sistem pemujaan
Paksa Siwa Pasu Pata. Ketika sistem pemujaan itu berubah menjadi Siwa
Sidhanta, Batu Madeg itu diletakkan di dalam sebuah Meru Tumpang Sebelas.
Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya inilah pelinggih yang
utama di Pura Batu Madeg tersebut. Pura ini tergolong Pura Catur Dala
berposisi di arah utara, simbol stana Dewa Wisnu dalam konsep pangider-ider
Siwa Sidhanta Paksa.
Yang patut kita perhatikan adalah
Pelinggih Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya. Menhir sebagai
peninggalan kebudayaan Hindu zaman megalitikum sebagai simbol pemujaan Batara
Wisnu itu tetap dipergunakan, meskipun sistem pemujaan itu sudah berubah.
Meskipun yang dominan sistem Siwa Sidhanta Paksa, tetapi Paksa Siwa Pasupata
tetap juga dilanjutkan, bahkan dipadukan dalam satu tempat pemujaan. Ini
artinya perbedaan paksa atau sekte keagamaan itu tidak menjadi persoalan di
antara kelompok sosial keagamaan Hindu tersebut. Apalagi perbedaan kedua
paksa keagamaan Hindu saling melengkapi.
Siwa Pasupata lebih menekankan pada
arah beragama ke dalam diri atau Niwrti Marga. Sedangkan Siwa
Sidhanta suatu paksa keagamaan Hindu yang juga sekte Siwa lebih menekankan
pada arah beragama keluar diri atau Prawrti Marga. Kedua arah
beragama ini memang berbeda tetapi saling melengkapi. Demikian bijaksananya
leluhur umat Hindu di Bali dalam mengelola perbedaan. Tidak terjadi satu
sekte merendahkan sekte yang lainnya. Pada zaman modern dewasa ini hal itu
patut kita renungkan dalam mengelola perbedaan. Lebih-lebih ke depan keadaan
zaman akan semakin heterogen dalam segala tatanan kehidupan, termasuk dalam
kehidupan beragama. Apalagi agama Hindu menyediakan banyak jalan untuk
mengembangkan diri dalam bidang spiritual menurut kitab suci Veda. Terjadinya
berbagai perbedaan penampilan luar dari sistem beragama Hindu bukan sebagai
suatu pertentangan. Tetapi itulah keindahan dari Hinduisme.
Pura Batu Madeg sesungguhnya menghadap
ke barat ke arah Pura Ulun
Kulkul. Tetapi umat pada umumnya merasakan pura itu menghadap ke
selatan. Di Pura Batu Madeg ini terdapat lima buah pelinggih Meru. Di sisi
timur areal jeroan pura, berjejer dari utara ke selatan. Dari utara ada dua
Meru Tumpang Sembilan. Yang paling utara merupakan Pelinggih Ida Manik
Angkeran. Di selatannya Pelinggih Ida Ratu Mas Buncing. Di selatan pelinggih
Ida Ratu Mas Buncing adalah Meru Tumpang Sebelas yang di dalamnya ada Batu Madeg.
Meru inilah sebagai pelinggih yang paling utama sebagai stana pemujaan Batara
Sakti Batu Madeg sebagai manifestasi Batara Wisnu.
Di selatannya ada Pelinggih Meru Tumpang
Sebelas juga sebagai Pelinggih Ida Batara Bagus Bebotoh. Di pelinggih ini umat
memuja Tuhan agar dapat mengalihkan sifat bebotoh berjudi menjadi bebotoh
bekerja untuk tujuan yang mulia. Umat jangan salah tafsir Pelinggih Ida
Batara Bebotoh itu bukan tempat pemujaan umat agar menang berjudi. Sebab,
ajaran Veda sangat melarang umatnya berjudi. Meru Tumpang Sebelas yang paling
selatan sebagai Pelinggih Ida Ratu Manik Bungkah. Pelinggih ini mungkin ada
kaitannya dengan fungsi Tuhan sebagai Batara Wisnu untuk melindungi kesuburan
tanah.
Sebab, hanya air yang dapat menembus
tanahlah yang akan dapat menyuburkan tanah. Hal ini dimaksudkan agar umat
jangan menutup lahan sebagai daerah resapan. Kalau lahan resapan tertutup
maka air akan langsung terbuang ke laut. Ini artinya memuja Batara Manik
Bungkah sebagai media spiritual untuk memotivasi umat agar senantiasa
melindungi daerah resapan air agar tanah dengan akar-akar pepohonannya dapat
berfungsi bagaikan waduk menyimpan air sepanjang masa.
Keberadaan tanah yang penuh dengan
pepohonan itu akan dapat menyerap air dan pohon juga dapat membersihkan
pencemaran udara dan juga air. Memuja Tuhan sebagai Batara Wisnu adalah
memotivasi diri umat agar senantiasa melindungi keberadaan air dan pepohonan.
Sebab, keberadaan alam itulah yang akan membuat hidup kita menjadi lestari.
Di depan Meru Tumpang Sebelas,
pelinggih pemujaan Batara Sakti Batu Madeg terdapat Balai Pesamuan yaitu
pelinggih yang berbentuk segi empat dengan enam belas tiang berjejer dua
baris. Jajar baris di luarnya disebut jajar dan yang di dalamnya disebut
beti. Balai Pesamuan inilah sebagai media untuk turun ke dunia berkumpulnya
semua sidhinya Batara Wisnu sebagai pemelihara dan pelindung ciptaan Tuhan.
Balai Pesamuan itu akan sangat kelihatan fungsinya terutama saat ada pujawali
dan upacara yadnya yang besar. Di sebelah kanan Balai Pesamuan terdapat Balai
Sedahan Ngerurah terdapat sebuah Lingga yang wujudnya sangat sempurna sebagai
media pemujaan Dewa Siwa dalam budaya megalitikum. Di sebelah Meru Pelinggih
Ratu Bagus Bebotoh terdapat Pelinggih Pepelik stana Batara Hidung Lantang
sebutan masyarakat pada Batara Gana. Upacara Piodalan di pura ini setiap enam
bulan wuku yaitu setiap Soma Umanis Wuku Tolu.
Di pintu atau pemedal jeroan pura
terdapat pelinggih yang disebut Balai Pegat bertiang delapan dengan dua balai
yang terpisah. Balai Pegat ini fungsinya untuk nunas Tirtha Pangelukatan
sebagai simbol umat berkonsentrasi memusatkan pikirannya pada Ida Batara
Sakti Batu Madeg dan untuk sementara melupakan hal-hal yang bersifat duniawi.
|
Pura Gelap
Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran
Agung ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5
menit perjalanan), terdapat Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru
tumpang 3 di sana distanakan Hyang Iswara, di
samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga, Bebaturan Sapta
Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon
Wariga dan Aci
Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih. |
WEDAWAKYA
Memuja Batara Iswara
Aham rudrebhir
vasubhih caramy
aham adityair uta visvadevaih, aham mitravarunobha bibharmy aham indragni aham asvinobha. (Rgveda.X.125.1).
Maksudnya:
Aku gerakkan kekuatan alam menjadi tenaga dan kekayaan. Aku bercahaya menjadi kekuatan yang cemerlang. Aku menyangga sumber kekuatan alam dalam wujud air dan cahaya. Aku adalah pusat energi, cahaya sebagai kehidupan yang datang dari matahari, udara, api dan segala kekuatan alam yang berguna.
PURA Besakih sebagai tempat pemujaan
Tuhan adalah simbol Bhuwana Agung. Hal ini sangat sesuai dengan Mantra
Yajurveda XXXX.1 yang menyatakan bahwa alam semesta inilah stana Tuhan yang
sesungguhnya. Sebagai lambang alam semesta Pura Besakih dibagi menjadi dua
bagian yaitu Soring Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal. Soring Ambal-ambal
itu lambang alam bawah yang disebut Sapta Patala. Sedangkan Luhuring
Ambal-ambal lambang alam atas yang disebut Sapta Loka.
Seluruh kompleks Pura Besakih itu
terdiri atas 20 kompleks pura. Ada empat pura yang disebut Pura Catur Dala
atau Catur Loka Pala yaitu Pura Gelap, Pura
Kiduling Kreteg, Pura Ulun
Kulkul dan Pura Batu
Madeg. Di tengah-tengah ada Pura
Penataran Agung Besakih terdiri atas tujuh Mandala atau tujuh
lapisan alam atas atau Sapta Loka.
Pura Gelap sebagai salah satu Pura
Catur Lawa adalah sebagai Pura Pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai
Batara Iswara pelindung arah timur alam semesta atau Bhuwana Agung. Nama-nama
pura di kompleks Pura Besakih itu memang sangat khas lokal Bali. Tetapi di
balik ciri khas lokal itu terbungkus konsep yang sangat universal. Memang
pemuka-pemuka Hindu di masa lampau sudah menggunakan konsep ''berpikir
universal berlaku lokal''. Meskipun tidak dengan istilah seperti itu.
Istilah ''gelap'' dalam nama Pura Gelap
ini bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata ''gelap'' dalam nama Pura Gelap
ini berasal dari bahasa Kawi yang artinya petir atau kilat dengan sinarnya
yang putih menyilaukan itu. Pura Gelap sebagai media pemujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Iswara yaitu dewanya sinar. Bumi ini bisa menjadi
wahana kehidupan karena adanya sinar matahari. Sinar matahari inilah sebagai
pemimpin sumber-sumber alam lainnya sehingga berfungsi memberikan kehidupan
pada isi alam ini.
Tumbuh-tumbuhan meskipun disiram dengan
air yang memadai tidak akan bisa hidup tanpa kena sinar matahari. Karena itu
dalam kutipan Mantra Rgveda di atas dinyatakan Tuhan dalam wujud cahaya
matahari itulah sebagai sumber kekuatan alam. Rohani orang-orang suci pun
akan semakin kuat dengan meditasi pada cahaya alam tersebut. Karena itu pada
zaman dulu, konon, Pura Gelap ini tempat meditasi para pandita maupun orang
yang menyiapkan diri menjadi pandita.
Pura ini juga dinyatakan sebagai
penegak dan pemelihara kesucian ''kependitaan''. Pura Gelap lambang dari
pusat sinar Bhuwana Agung. Dengan sinar alam semesta ciptaan Tuhan ini semua
kekuatan unsur alam ini menjadi berfungsi sebagai sumber kehidupan semua
makhluk hidup penghuni alam ini. Karena itu Pura Gelap ini menjadi pusat
meditasi umat manusia yang berkehendak membangkitkan sinar suci yang
bersemayam dalam dirinya atau di Bhuwana Alit.
Kalau sinar Bhuwana Agung dapat terpadu
dengan sinar di Bhuwana Alit atas usaha umat manusia maka keharmonisan
hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pun terjadi. Hal ini sebagai salah
satu penyebab terwujudnya kehidupan yang bahagia atau hita karana. Pura Gelap
tidak semata-mata sebagai tempat meditasinya para pandita, tetapi juga
sebagai tempat meditasi semua umat terutama mereka yang ingin mengembangkan
kepemimpinannya secara baik dan benar.
Areal Pura Gelap ini mula-mulanya tidak
begitu besar. Setelah direhabilitasi pura ini diperluas bahkan sekarang
menggunakan Kori Agung. Sebelumnya hanya menggunakan Candi Bentar sebagai
pintu masuknya. Karena pura ini merupakan satu-kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan Pura Penataran Agung. Sebelumnya hanya Pura Penataran
Agung yang menggunakan Kori Agung atau juga disebut Candi Kurung.
Pelinggih utama di Pura Gelap Besakih
ini adalah Meru Tumpang Tiga sebagai media untuk memuja Batara Iswara sebagai
manifestasi Tuhan pelindung arah timur dari alam semesta ini. Batara Iswara
juga sebagai Dewa kecemerlangan dan kecerahan dari Bhuwana Agung dan Bhuwana
Alit. Atap Meru yang bertingkat-tingkat itu lambang pengelukunan Dasaksara
dan lambang urip bhuwana.
Pengelukunan Dasaksara adalah Aksara
''Om'' yang bisa dikembangkan menjadi tiga aksara, lima, tujuh sampai sebelas
aksara. Maknanya secara filosofis sama. Meru Tumpang Tiga makna filosofisnya
sama dengan Meru Tumpang Lima sampai Sebelas.
Menurut Kekawin Dharma Sunia, Meru itu
adalah lambang alam atau Bhuwana stana Tuhan yang sesungguhnya. Meru Tumpang
Tiga di Pura Gelap lambang Tri Bhuwana yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka.
Artinya Tuhan sebagai Batara Iswara menyinari kehidupan di Tri Bhuwana
tersebut. Di dalam Meru Tumpang Tiga ini terdapat batu simbol Lingga stana
Batara Siwa. Di samping itu, di Pura Gelap ada Pelinggih Sanggara Agung yang
menyerupai Padmasana untuk menstanakan tirtha yang diambil dari Pura Tirtha
saat ada upacara penting di Pura Penataran Agung Besakih.
Di Pura Gelap terdapat juga Pelinggih
Dasar Sapta Patala. Pelinggih ini sebagai media memuja Tuhan sebagai jiwa
alam bawah yang terdiri atas tujuh lapisan yang disebut Sapta Patala.
Unsur-unsur Sapta Patala ini setelah mendapatkan sinar alam semesta barulah
akan berfungsi sebagaimana mestinya. Kerja sama alam inilah yang menghasilkan
unsur-unsur alam yang menyebabkan berlangsungnya kehidupan di bumi ini.
Oleh karena
itu, manusia hendaknya tidak merusak kerja sama unsur alam ini. Karena kerja
sama unsur alam ini berlangsung berkat adanya Rta yaitu hukum alam ciptaan
Tuhan. Merusak proses alam sesuai dengan Rta berarti dosa karena tergolong
perilaku melawan takdir Tuhan.
|
Pura Pangubengan
Kompleks
Pura Padharman di Besakih
|
Padharman
Ida Dalem Klungkung
Cinaritan linggih I Dewa Tagal Besung meru tumpang solas; Linggih I Dewa Samplangan meru tumpang sia abungkul, Linggih I Dewa Enggong meru tumpang pitu abungkul, linggih I Dewa Sagening meru tumpang lima abungkul, linggih I Dewa Made meru tumpang telu abungkul (kutipan Raja Purana Pura Besakih)
Maksudnya:
Diceritakan pelinggih I Dewa Tegal Besung Meru Tumpang Sebelas, pelinggih I Dewa Samplangan Meru Tumpang Sembilan, Palinggih I Dewa Enggong Meru Tumpah Tujuh, pelinggih I Dewa Sagening Meru Tumpang Lima, pelinggih I Dewa Made Meru Tumpang Tiga.
Adanya tradisi pendirian Pura Padharman
di kompleks Pura Besakih maupun di luar Pura
Besakih diperkirakan sebagai pengaruh tradisi Hindu dari Kerajaan Majapahit
dari Jawa Timur. Demikian juga halnya dengan
Pura Padharman Ida Dalem Klungkung. Pura Padharman Ida
Dalem Klungkung ini adalah Pura Padharman yang
terbesar di antara Pura Padharman yang ada di kompleks Pura Besakih.
Keberadaan pelinggih di Pura Padharman
Ida Dalem Klungkung amat sesuai dengan bunyi teks kutipan Raja Purana Pura
Besakih tersebut di atas.
Menurut keterangan Drs. Ida Bagus Putu Purwita (sekarang beliau sudah
dwijati) bahwa Pura Padharman Ida Dalem Klungkung ini sebelum Gunung Agung
meletus Maret 1963 berbentuk Prasada. Palinggih Prasada ini terbuat dari batu
bata mirip candi-candi di Jawa. Hanya candi di Jawa menggunakan batu andesit.
Seperti Prasada beratap sebelas dibuat
dengan batu bata dan pintu masuknya pada atap pertama bertuliskan ''Sang
Hyang Eka Twa Dalem Ketut Kepakisan''. Hal ini menunjukkan bahwa di Prasada
beratap sebelas ini adalah Padharman dari raja pertama dari keturunan Mpu
Kepakisan dari Jawa Timur yang bergelar Ida Dalem Ketut Krsna Kepakisan.
Prasada beratap sembilan sebagai Padharman dari Ida Dalem Sri Semara
Kepakisan atau sering disebut Dalem Ketut Ngulesir.
Prasada beratap tujuh juga dibuat dari
batu bata sebagai Padharman Ida Dalem Baturenggong. Prasada beratap lima
sebagai Padharman Ida Dalem Sagening. Sedangkan Prasada beratap tiga sebagai
Padharman Ida Dalem Dimade. Raja yang bergelar Ida Dalem Dimade inilah
sebagai Raja terakhir yang bertahta atau purinya di Gelgel atau Sweca Pura.
Saat itu, Puri Ida Dalem di Samprangan disebut Linggarsa Pura.
Setelah Ida Dalem Dimade pusat kerajaan
berpindah ke Klungkung dengan purinya disebut Smara Pura. Selanjutnya istilah
Pura untuk menyebutkan tempat suci seperti Pura Kahyangan, maka pusat
kerajaan pun disebut Puri tidak lagi disebut Pura. Di samping Prasada sebagai
pelinggih utama terdapat juga dua Pelinggih Gedong beratap ijuk dan ada Meru
Tumpang Lima dan Tumpang Tiga.
Demikian keberadaan pelinggih-pelinggih
di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung sebelum Gunung Agung meletus bulan
Maret tahun 1963. Pada waktu Gunung Agung meletus tahun 1963 pelinggih
Prasada tersebut hancur semuanya. Untuk memperbaiki Pura Padharman Dalem
Klungkung tersebut digunakanlah Meru. Hanya pelinggih Prasada yang beratap
sebelas stana Ida Dalem yang pertama saja dikembalikan bentuknya semula
berupa Prasada juga. Sedangkan yang lainnya digunakan pelinggih Meru dengan
fungsi sama seperti waktu berbentuk Prasada.
Tentang pendirian Padharman di kompleks Pura Besakih
menurut Lontar Padma Bhuwana dimulai sejak tahun Saka 1400 atau tahun 1478
Masehi. Sedangkan menurut Lontar Babad Sukahet pendirian padharman di Besakih
tahun Saka 1465 atau tahun 1543 Masehi. Bila tahun ini dihubungkan dengan
periodisasi tahun pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali, maka pada
tahun-tahun tersebut adalah saat pemerintahan Dalem Baturenggong di Bali yang
berkeraton di Gelgel atau Sweca Pura. Demikian dinyatakan dalam skripsi Drs.
Ida Bagus Putu Purwita (sekarang beliau sudah dwijati) tentang pengertian
Padharman di Bali. Nampaknya Pura Padharman Ida Dalem Klungkung didirikan
oleh setiap generasi dari saat kerajaan berkeraton di Sweca Pura sampai di
Smara Pura atau kota Klungkung sekarang. Ida Dalem Dimade sudah distanakan di
Pelinggih Prasada beratap tiga adalah raja yang terakhir berkeraton di
Gelgel. Ini berarti raja yang mendirikan Padharman untuk Ida Dalem Dimade
adalah raja yang berkeraton di Smara Pura. Karena tidak mungkin Ida Dalem
Dimade membuatkan pelinggih Padharman untuk diri beliau.
Untuk memuja leluhurnya raja-raja di
Bali menggunakan istilah Padharman sebagai pengaruh tradisi Hindu pada
Kerajaan Majapahit khusus untuk memuja roh suci leluhur orang-orang yang
terkemuka dalam kehidupan masyarakat seperti raja, tokoh masyarakat dan para
pandita atau resi. Sedangkan untuk memuja roh suci leluhur atau Dewa Pitara
masyarakat pada umumnya menurut Lontar Purwa Bumi Kamulan dan beberapa lontar
lainnya digunakan Kamulan Taksu sebagaimana diajarkan oleh Mpu Kuturan.
Kamulan Taksu ini menurut Lontar
Siwagama didirikan di setiap hulu pekarangan rumah keluarga Hindu di Bali.
Kalau keluarga tersebut meluas dan sampai berkembang minimal sepuluh
pekarangan maka pemujaan bersama untuk leluhur itu disebut Merajan Gede.
Kalau sampai minimal 20 pekarangan disebut Pura Ibu dan minimal 40 pakarangan
disebut Pura Dadia atau Panti.
Untuk pemujaan umat yang satu klan
atau satu wangsa disebut Pura Kawitan. Keberadaan sistem Wangsa dalam
masyarakat Hindu di Bali untuk menguatkan sistem pemujaan leluhur sebagai
tangga untuk memuja Tuhan. Karena pemujaan sebelumnya akan menguatkan
pemujaan selanjutnya. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra. Ini
artinya pemujaan leluhur itu untuk menguatkan pemujaan pada Tuhan. Asal
jangan berhenti pada pemujaan leluhur saja.Itu artinya, sistem Wangsa dalam
masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial dengan
paradigma tinggi-rendah (tidak setara antarwangsa yang satu dengan wangsa
yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria,
Waisya maupun Sudra. Sistem Wangsa untuk membangun keakraban atau kerukunan
famili, bukan untuk menentukan kasta atau varna seseorang. Umat dalam satu
wangsa itu ada bermacam-macam profesinya. Ada
sebagai pandita atau pinandita, ada sebagai birokrat, tentara atau politisi,
ada sebagai pengusaha dan ada juga sebagai petani atau buruh.
|
|
BAB III
Penutup
3.1 kesimpulan Memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspeknya dibangunlah tempat-tempat pemujaan. Tempat-tempat itu adalah bangunan suci yang dibangun ditempat suci atau tempat yang disucikan. Tempat suci Agama Hindu umumnya adalah Pura. Karena Pura adalah tempat untuk memuja Tuhan dalam berbagai aspeknya, maka pengertiannya tidak dapat dipisahkan dengan konsepsi ketuhanan dalam agama hindu itu sendiri. Menurut ajaran agama hindu, tuhan itu esa adanya Sesuai dengan fungsinya sebagai tempat untuk memuja Tuhan dalam berbagai aspeknya maka ada beberapa macam tempat pemujaan, yaitu : Tempat pemujaan untuk pemujaan keluarga,Tempat pemujaan untuk pemujaan Desa,Tempat pemujaan untuk pemujaan profesi,Tempat pemujaan untuk pemujaan seluruh wilayah
Sanggah kamulan, sanggah kamulan terdiri dari dua kata yaitu: sanggah dan kamulan. Sanggah adalah perubahan ucapan dari pada “sanggar. Arti sanggar ,menurut pengertian lontar keagamaan di Bali adalah tempat pemujaan. Misalnya dalam lontar Sivagama disebutkan ‘nista Sapulihing seduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal Sivagama, lembar 328). Kamulan berasal dari kata “mula’ (samkrit), yang berarti: akar, dasar, permulaan, asal”. (Kamus kecil Samkrit-Indonesia, 1983.180). Awalan Ka dan akhiran an menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber. Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, kamimitan berasal dari kawa wit, (huruf m adalah ekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata Wit, yang ebrarti asal atau sumber pula.
Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya
terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum
ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih
menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau
Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan
nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi
Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para
pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani,
kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi
Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang
(konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan
kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah
dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa
setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Daftar Pustaka
Wikarma,singgih. 1998. Sanggah Kamulan
fungsi dan pengertiannya,
Paramitha:Surabaya
Sura,igede.sindhu,kade.dalem,ketut.
Agama Hindu Sebuah pengantar. CV
Kayumas Agung
siwagama.blogspot.com/2011/09/taksu.html ( diakses pada
tanggal
14 desember
2013)