PROPOSAL PENELITIAN
PENGGUNAAN TRUNA
PINGITAN DALAM UPACARA DEWA YAJNA DI DESA KUBUTAMBAHAN KECAMATAN
KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG (Kajian
Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu)
OLEH
Kadek Handara
NIM : 10.1.1.1.1 3830
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA
ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2013
A. Judul : PENGGUNAAN
TRUNA PINGITAN DALAM UPACARA DEWA YAJNYA
DI DESA KUBUTAMBAHAN KECAMATAN KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG ( kajian
nilai-nilai pendidikan agama hindu )
B.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia
adalah Negara yang memiliki banyak pulau dan juga memiliki banyak
kebudayaan,ras dan agama, di dalam undang-undang dasar ada lima agama yang di sahkan oleh
pemerintah di Indonesia yakni Agama Hindu,Agama Islam,Agama Kristen,Agama Budha
dan Agama Kong Khu Chu Kelima agama ini yang memberikan kekayaan bagi Indonesia
dari kebudayaan, tradisi, upacara yang dimiliki oleh masing-masing kelima
agama.Salah satunya Agama Hindu yang disebarkan oleh Maha Rsi Markendrya yang
datang ke Indonesia pada saat itu juga Indonesia masih dalam sistem kerajaan
dan menganut agama hindu dan pada akhirnya datanglah pedagang dan menyebarakan
agama islam secara perlahan-lahan.
Pada
saat islam mulai menyebar di pulau jawa Maha Rsi akhirnya pergi dan datang ke Bali untuk mengajarkan Agama Hindu
pada masyarakat Bali, pada saat itu masyarakat Bali sudah memiliki suatu
kepercayaan dan menyembah para leluhur sehingga ajaran agama hindu bisa
diterima dan di padukan dengan keyakinan yang ada di Bali sehingga Rsi menetap
di Bali
Agama
hindu memberikan suatu hal baru kepada masyarakat di Bali dan juga memberikan
suatu cara untuk memuja Tuhan dan para
leluhur dengan menggunakan sarana dan
prasarana, seiring dengan perkembangan zaman agama hindu di bali, bentuk sarana yang di persembahkanpun berubah pula dulu yang hanya bunga sekarang sudah
berupa canang dan juga berupa banten.
Tidak
hanya sarana dan pra sarana Sekarang
upacara-upacarapun digolongkan dalam lima yang disebut panca yajna yakni dewa
yadnya,rsi yadnya,manusa yadnya,pitra yadnya dan bhuta yajna, kelima yadnya ini
sudah digolongkan untuk memuja ataupun melakukan yadnya berdasarkan arti dari
masing-masing bagian panca yadnya. Berdasarkan kata panca yadnya dapat dipilah
menjadi dua kata yaitu dari kata “ panca”
dan “yajna”, panca artinya lima sedangkan kata yadnya berarti pengorbanan
suci ,jadi kata panca yadnya artinya lima pengorbana suci yang tulus iklas
tanpa pamrih.
Dewa yajna adalah korban suci yang ditujukan kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para Dewa agar manusia
senantiasa mendapat lindunganNya. Dapat dikatakan juga bahwa kebanyakan dari
korban suci tersebut berbentuk bebanten
(sesajen) dalam wujud upakara. Rsi yajna adalah korban suci tulus ikhlas yang
bertujuan menyucikan manusia secara lahir batin untuk menjadi sulinggih.
Pitra yajna adalah korban suci yang tulus ikhlas
ditujukan kepada para leluhur agar beliau melindungi segenap keturunannya demi
keselamatan bersama. Manusa yajna adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan
membersihkan lahir batin manusia mulai dari terbentuknya jasmani dalam
kandungan sampai akhir hidup manusia. Bhuta
yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya
dan memelihara serta memberi penyupatan kepada para bhutakala dan mahluk-mahluk
yang dianggap rendah dari manusia, seperti jin, peri, setan, binatang dan
sebagainya. Tujuan pembersihannya adalah menghilangkan sifat-sifat buruk yang
ada pada mahluk-mahluk itu dan pembersihan pada alam akibat pengaruh negatif dari
mahluk tersebut. Dengan melakukan upacara bhuta yadnya maka sifat-sifat
kebaikan dan kekutan dari mahluk itu dapat berguna bagi kesejahteraan manusia.Dalam
bhuta yadnya , juga terkandung pengertian usaha penyupatan terhadap
mahluk-mahluk rendah, sehingga mereka menjadi mahluk yang dinaikkan derajatnya
untuk menjalani karmanya.
Upacara
yajna yang ada di bali juga di warnai dengan suatu tradisi yang ada di
masing-masing desa sehingga upacara itu terlihat unik dan memberi kesan yang
baik dan memberikan suatu nilai-nilai yang terdapat dalam upacara itu.Salah
satunya di Desa Kubutambahan dalam melaksanakan upacara dewa yajna yang
dilaksanakan lima tahun sekali pada purnama kapat, dalam serangkaian upacara
dewa yajna itu menggunakan truna pingitan
dalam melaksanakan upacara itu.
Truna pingitan
di ambil sebelum upacara itu mulai dilaksanakan dan juga yang boleh menjadi truna pingitan ialah yang baru menèk
bajang sebelum menjadi pingitan para truna-
truna (laki-laki) di upacarai agar bersih baik sekala maupun
niskala,setelah melakukan upacara itu baru
truna menjadi seorang pingitan yang dari awal mulainya piodalan sampai penyineban truna pingitan tidak boleh keluar dari
area pura sampai piodalan itu berakhir. Mencermati hal tersebut, maka perlu di
teliti lebih jauh melalui penelitian yang berjudul: Penggunaan Truna Pingitan dalam Piodalan Di Pura Bale Agung Di Desa
Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
ssebagai berikut
1. Bagaimana
prosesi penggunaan truna pingitan
dalam upacara dewa yadnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten
Buleleng ?
2. Apa
makna dari penggunaan truna pingitan
dalam upacara dewa yadnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten
Buleleng ?
3. nilai-nilai
pendidikan agama apakah yang terdapat dalam penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yadnya di Desa Kubutambahan
Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng ?
D.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
merupakan salah satu persyaratan dalam penulisan sebuah penelitian, dari sebuah
penelitian yang ingin dicapai ialah mampu memecahkan dan member solusi terhadap
masalah-masalah yang tedapat dalam sebuah penelitiaan. Adapun tujuan yang dapat
dibagi menjadi dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus
1.
Tujuan
umum
Tujuan
umum dari penelitian ini ialah untuk mengetahui lebih mendalam tentang
penggunaan trune pingitan di Desa Kubutambahan yang sudah ada dan terlaksana
sejak dulu dan juga untuk memperkenalkan penggunaan truna pingitan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa
Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng dalam upacara Dewa Yajna
2.
Tujuan
Khusus
Adapun
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam
sebuah penelitian ini yaitu
1. Untuk
mengetahui prosesi penggunaan truna
pingitan dalam upacara dewa Yajna di Desa Kubutambahan Kecamatan
Kubutambahan Kabupaten Buleleng
2. Untuk
mengetahui makna dari penggunaan truna
pingitan dalam upacara dewa Yajna di Desa Kubutambahan Kecamatan
Kubutambahan Kabupaten Buleleng
3. Untuk
mengetahui nilai-nilai pendidikan agama yang terdapat dalam penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa Yajna
di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng
E.
Manfaat
Penelitian
Selain
tujuan adapula manfaat dalam suatu penelitian, manfaat ini bisa menjadikan
suatu pengetahuan baik si peneliti maupun mahasiswa yang membaca penelitian
ini. Karena keberadaan penggunaan truna
pingitan dalam upacara Dewa Yajna di Desa kubutambahan Kecamatan
Kubutambahan Kabupaten Buleleng, sangatlah berbeda dari daerah-daerah lain
khususnya di Bali. Jadi dalam penelitian manfaat ini dapat dibagi menjadi dua
yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Hasil
dari penelitian tentang penggunaan trune pingitan di Desa Kubutambahan menambah
dan member refrensi kepustakaan ilmu pendidikan agama hindu dan juga memberikan
suatu informasi kepada masyarakat tentang keberadaan penggunaan truna pingitan dalam upacara Dewa Yajna
di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
2.
Manfaat
Praktis
1.
Hasil dari penelitian ini mampu menjadikan suatu pedoman bagi umat hindu yang
ada di desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng. Bagi
peneliti mendapatkan suatu pengalaman dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat
dalam penelitian ini.
2.Hasil
penelitian ini dapat diguanakan oleh tokoh-tokoh adat,tokoh-tokoh agama,prejuru
dan masyarakat khususbya yang ada di Desa Kubutambahan. Dan para tokoh
memberikan suatu pemahaman tentang penggunaan trune pingitan dalam upacara Dewa
Yajna.
3.Hasil
dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan unutk meningkatkan pemahaman
masyarakat Hindu di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
F.
Kajian
Pustaka
Kajian pustaka atau literatur
perlu dilakukan untuk menguasai teori-teori yang relevan dengan masalah
penelitian. Penelitian tidak mungkin dilakukan dengan baik tanpa orentasi
pendahuluan yang bersumber kepada literatur yang berhubungan dengan masalah
penelitian. Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian
kualitatif adalah mendayagunakan sumber informasi yang terdapat dalam literatur
yang berhubungan dengan masalah penelitian Iskandar (2009).
Kepustakaan yang akan dikaji
dalam mendukung penelitian Gay (dalam Tarboni 2001) berpendapat bahwa kajian kepustakaan meliputi
pengidentifikasian secara sistematis, penemuan dan análisis, dokumen-dokumen
yang memuat informasi. Yang berkaitan dengan masalah penelitian. Sesuai dengan pendapat Tarboni di atas, maka beberapa
hasil penelitian yang terkait dengan penelitian yang sedang dilaksanakan dapat
dikemukakan dari beberapa orang peneliti yang telah meneliti tentang upacara.
Dari identifikasi beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan objek
penelitian yang akan penulis kerjakan.
Penelitian ini peneliti berusaha untuk menemukan dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan Penggunaan Truna Pingitan dalam Upacara Dewa Yajna di Desa Kubutambahan
Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng, baik melalui invebtarisasi dokumen dilokasi penelitian, perpustakaan
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, perpustakaan umum Pemerintah Kabupaten
Buleleng dan dokumen-dokumen yang tersebar dimasyarakat. Setelah melalui
tahap-tahap identifikasi dan penemuan dokumen-dokumen serta membacanya, maka
ditemukan karya-karya ilmiah yang ada hubungannya dengan penelitian ini sebagai
berikut :
Mas Putra (2000) dalam buku Upakara Yadnya
dinyatakan kata upacara identik dengan kata yadnya yang berasal dari kata Yaj yang artinya korban, sedangkan
Yadnya artinya yang berhubungan dengan korban. Dalam hal ini korban yang
dimaksud adalah pengabdian dan cinta kasih, sebab pelaksanaan Yadnya bagi umat
Hindu adalah satu contoh perbuatan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) yang telah
menciptakan manusia serta alam semesta ini dengan YadnyaNya, sehingga sering
disebutkan : Yadnya adalah korban suci yang dilakukan secara tulus ikhlas
dengan tidak mengikatkan diri pada hasilnya.
Yajna adalah korban suci yang dilaksanakan
secara tulus ikhlas terhadap Tuhan dalam berbagai manifestasinya , terhadap leluhur, para orang bijak, sesame
manusia, dan terhadap mahluk lain baik yang tampak maupun tidak tampak. Dasar
pelaksanaan yajna adalah konsep adanya hutang pada setiap manusia sebagaimana
terdapat dalam ajaran Tri Rnam yaitu
tiga macam hutang manusia, yaitu hutang kepada Tuhan ( Dewa Rnam ), hutang
kepada para leluhur (pitra Rnam), dan Hutang kepada para Rsi ( Rsi Rnam ).
Dasar pelaksanaa yajna. Selain konsep Tri Rna, juga terdapat rujukan dalam kitab suci Manawa
Dharmasastra dan BhagawadGita, yang kemudian di Bali ditulis kembali dalam
lontar.
Hasan Alwi (2005) dalam kamus besar Bahasa
Indonesia dinyatakan upacara berarti (1) tanda-tanda kebesaran, (2) peralatan
(menurut adat istiadat); rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada
aturan tertentu menurut adat atau agama, (3) perbuatan atau perayaan yang
dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. Dalam hal ini
upacara yang dilakukan pada saat selesai mendirikan atau pemugaran tempat suci.
Dinas pendidikan (1991) dalam kamus
Bali-Indonesia dinyatakan kata “Truna” berarti jejaka/ laki-laki sedangkan kata “pingitan” berarti angker/ memiliki
kekuatan gaib.
G. Konsep
Konsep
merupakan salah satu syarat yang harus ada dalam kegiatan penelitian atau
penulisan karya ilmiah. Hal itu disebabkan konsep mampu mengantarkan sejumlah
variabel terhadap topik yang diteliti. Konsep dalam kegiatan penelitian dalam
penulisan karya ilmiah wajib ditaati, dipatuhi serta dilaksanakan oleh
peneliti. Tujuan agar variabel dalam topik yang akan diteliti tidak menyimpang
dari kegiatan penelitian. Bahwasannya
konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi, batasan
secara singkat dan sekelompok fakta atau gejala atau merupakan definisi dari
apa yang perlu diamati dalam proses penelitian (Koentjaraningrat, 1991:10).
1.
Truna Pingitan
Dinas
pendidikan (1991) dalam kamus Bali-Indonesia dinyatakan kata “Truna”
berarti jejaka/ laki-laki sedangkan
kata “pingitan” berarti mensucikan,
dirahasiakan. Jadi, Truna pingitan adalah laki-laki yang mensucikan atau
dirahasiakan di dalam area pura untuk mengemban ratu hyang pingit dalam upacara
dewaa yadnya.
2. Upacara Dewa Yajnya
Kamus
istilah Agama Hindu ( 2005 ) kata upacara adalah rangkaian tindakan dalam
kegiatan ritual.Swarsi (2004) upacara (upacara tradisional) dibali merupakan
suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan antara tatwa/filsafat,yaitu
merupakan tujuan daripada ajaran agama hindu; serta susila, yaitu aturan-aturan
yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan.
Upacara
tradisional merupakan suatu cara umat untuk menyatakan rasa bhaktinya kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kepada Leluhurnya, kepada para Rsi, para dewamaupun
terhadap sesamanya. Upacara sebagai fenomena agama dan kebudayaan yang kaya
dengan lambing-lambang, pada hakekatnya berfungsi sebagai sarana sosialisasi
bagi pendukung upacara tersebut.
Upacara
keagamaan yang bersifat religius yang
merupakan usaha yang bertujuan untuk mencari hubungan manusia dengan Tuhan,
dewa-dewa, atau makhluk halus lainya yang mendiami alam gaib. Sistem religius ini dilaksanakan dan melambangkan konsep-konsep yang
terkandung dalam suatu sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud dari
tingkah laku dari suatu religi. Seluruh sistem upacara terdiri dari beraneka
macam upacara yang bersifat harian, musiman atau kadangkala. Masing-masing
upacara terdiri dari kombinasi berbagai macam unsur seperti : berdoa, bersaji (maturan), berkorban, makan bersama,
menari dan menyanyi (makidung),
berprosesi, berseni sakral (drama suci), berpuasa, bertapa, bersemadi dan
sebagainya. Tata urutan dari acara-acara tersebut adalah sudah merupakan buatan
manusia sejak zaman dahulu kala, dan merupakan ciptaan akal manusia.
Beberapa sumber
mengatakan Upacara merupakan kegiatan manusia untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi. Upacara juga merupakan
bagian dari Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu selain Tattwa dan Etika. Dalam hal ini upacara adalah
cara-cara melakukan hubungan antara Atman
dengan Paramatman, antara manusia
dengan Hyang Widhi serta
manifestasi-Nya. Sebuah sumber menyatakan upacara dalam bahasa Sansekerta
artinya mendekat. Pendapat lain tentang upacara juga disampaikan bahwa upacara
merupakan wujud nyata realisasi atau aktivitas-aktivitas agama.
Secara
etimologi, upacara berasal dari bahasa Sansekerta yakni dari kata Upa dan Cara. Upa memiliki arti
sekeliling atau menunjuk segala, Cara
berarti gerak atau aktivitas sekeliling kehidupan umat manusia atau aktivitas
umat manusia dala upaya dan usaha menghubungkan diri dan menyatu dengan Hyang Widhi. Jadi dapat ditegaskan bahwa
upacara merupakan bagian dari Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu, dan upacara merupakan salah satu wujud nyata
aktivitas manusia untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi, Upacara
Dalam Agama Hindu
Upacara
dalam agama Hindu dilihat dari fungsinya merupakan alat yang membantu umat
Hindu dalam mengadakan konsentrasi pikiran atau pemusatan pikiran. Dan juga
merupakan sarana bagi umat Hindu di dalam mengadakan hubungan dengan Hyang
Widhi. Senada dengan hal di atas, dalam buku Sarasamuscaya disebutkan :
Dari sudut filsafat upacara, agama ialah
melakukan hubungan antara atma dengan paramaatma, antara manusia dengan Ida Sanghyang
Widhi Wasa, serta semua manifestasinya
dengan jalan yadnya untuk
mencapai kesucian jiwa. Untuk upacara itu dipakailah upacara sebagai alat
memudahkan manusia dalam menghubungkan dirinya dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam bentuk yang nyata..
Upacara adalah salah satu cara
yang dilakukan oleh umat Hindu untuk menghubungkan dirinya dengan Hyang
Widhi. Cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri ada yang sederhana dan
nyata. Upacara adalah salah
satu pelaksanaan dari yadnya. Dalam melaksanakan suatu upacara digunakan sarana yang disebut
upakara.
Pelaksanaan Upacara dilakukan
berulang untuk sebagian atau keseluruhannya dalam suasana religius lahir
dan bathin. Sehingga upacara merupakan bagian yang sangat penting dan tidak
mungkin diabaikan begitu saja.
Upacara pada dasarnya adalah pemberian yang tulus ikhlas
untuk kepentingan bersama, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak dan
berbuat sesuatu yang melambangkan komunitasnya dengan Tuhan.
Upacara merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam ajaran agama hindu. Setiap kegiatan atau
aktivitas keagamaan hindu selalu diikuti dengan upacara agama, sebab upacara
merupakan ekspresi atau bentuk luar ajaran agama hindu. Terdapat bermacam-macam
wujud upacara agama hindu,dari sarana yang sangat sederhana seperti selembar
daun, sekuntum bunga, sebiji buah sampai pula upacara yang besar yang sarananya
cukup banyak dan kadang-kadang sangat sulit dicari oleh seseorang. Makna suatu
upacara tidak dapat dipisahkan dengan yajna dan samkara. (titib 1994:5)
Menurut Wijayananda (2005:49) Upacara merupakan, kata
upacara berakar dari dua suku kata, yaitu; Upa dan Cara. Upa artinya dekat atau
mendekat dan cara berakar dari urutan kata “Car” yang memiliki arti harmonis,
seimbang, selaras. Upacara memiliki arti dan makna. Dengan keseimbangan,
keharmonisan dan keselarasan dalam diri, kita mendekatkan diri dengan Tuhan
Yang maha Esa. Sebelumnya kita ingin mendekatkan diri kepada-nya, hendaknya
terlebih dahulu kita dapat menciptakan keseimbangan dan keselarasan serta
keharmonisan dalam diri kita, agar dapat terwujudnya keharmonisan dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Karena kesempurnaan seseorang di dalam menjalankan ajran-ajaran
Agamanya, bukanlah dinilai dari seringnya di sembahyang atau mempersembahkan
upacara atau upakara yang menegah dan meriah saja. Melainkan ketaqwaan
seseorang di dalam beragama di nilai sejauh mana mereka dapat merubah sikap,
mental dan prilakunya sehari-hari menuju kebajikan-kebajikan sesuai dengan
kaidah ajaran-ajaran agamanya. Dan dapat secara nyata di aktualisaikan dan di
visualisaikan dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat.
Istilah Dewa sering dipergunakan didepan
sebutan Pitara atau Resi misalnya: Dewa Pitara, Dewa Resi yaitu Roh Leluhur
atau Resi yang telah suci dan setingkat dengan Dewa, tetapi beliau tidak sama
dengan Dewa. Bila diperhatikan pelaksanaan Panca yadnya di Bali kebanyakan
dalam bentuk upacara dan upakara sehingga yang menonjol disini adalah
karma-marga terselubung didalam upacara
dan upakara itu sendiri.
Ditinjau dari arti kata, “ dewa” berasal
dari bahasa sansekerta urat “div”, artinya sinar atau cahaya. Dewa-dewa tidak
sama dengan Tuhan melainkan adalah ciptaan-Nya yang memiliki sifat karma/kerja
mengendalikan alam semesta ini sebagaimana disebutkan didalam Manawa
Dharmasastra
Karmatmanam
ca dewanam so’ srjatpraninam prabhuh
Sadhyanam ca gunam suksmam
Yajnam caiwa sanatanam ( I.22)
Artinya :
IA,
Tuhan ( Prabhu ) ciptaan tingkat Dewa yang memiliki Prana (hidup) dan mempunyai
sifat karma (kerja); Demikian pula sifat badan halus dan tingkat-tingkat dari
Sadhya beserta jenis yadnya yang abadi.
Dewa-dewa memiliki ciri-ciri serta
menguasai satu aspek tertentu yang
berhubungan dengan keajaiban-keajaiban alam semesta,dapat lahir dan menampakkan
diri dalam wujud yang dikehendaki. Dengan demikian maka yadnya kehadapan para
Dewa berarti pula yadnya kehadapan ida Sang Hyang Widhi Wasa ( Tuhan ) sebab beliau
sebagai sumber yang mengadakan serta memancarkan sinar mengatur alam semesta ini.
Dewa yajna adalah persembahan yang
tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi
sebagai pernyataan rasa terima kasih atas anugrah-Nya memberikan hidup dan
kehidupan kepada umat manusia. Yajna ini diwujudkan dalaam upacara-upacara
keagamaan yang ditunjukkan kepada-Nya. Dalam pengertian ini, termasuk pula
membangun serta memelihara tempat suci keagamaan seperti : pura,
merajan, sanggah, mandir, candi dan lain-lannya.(titib 1994 : 9-10)
Dewa Yajnya adalah korban suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para Dewa agar manusia senantiasa mendapat
lindunganNya. Dapat dikatakan juga bahwa kebanyakan dari korban suci tersebut
berbentuk bebanten (sesajen) dalam wujud upakara. Rsi Yajnya
adalah korban suci tulus ikhlas yang bertujuan menyucikan manusia secara lahir
batin untuk menjadi sulinggih. Pitra Yajnya adalah korban suci yang tulus
ikhlas ditujukan kepada para leluhur agar beliau melindungi segenap
keturunannya demi keselamatan bersama. Manusa Yajnya adalah korban suci yang
bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia mulai
dari terbentuknya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia. Bhuta yadnya adalah korban suci yang
bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya dan memelihara serta memberi
penyupatan kepada para bhutakala dan mahluk-mahluk yang dianggap rendah dari
manusia, seperti jin, peri, setan, binatang dan sebagainya. Tujuan
pembersihannya adalah menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada pada
mahluk-mahluk itu dan pembersihan pada alam akibat pengaruh negatif dari mahluk
tersebut. Dengan melakukan upacara bhuta yadnya maka sifat-sifat kebaikan dan
kekutan dari mahluk itu dapat berguna bagi kesejahteraan manusia. Dalam bhuta
yadnya , juga terkandung pengertian usaha penyupatan terhadap mahluk-mahluk
rendah, sehingga mereka menjadi mahluk yang dinaikkan derajatnya untuk
menjalani karmanya.
Jadi
upacara dewa yajna adalah korban suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para Dewa agar manusia senantiasa mendapat
lindunganNya. Dapat dikatakan juga bahwa kebanyakan dari korban suci tersebut
berbentuk bebanten (sesajen) dalam wujud upakara.
3. Nilai
Pendidikan Agama
Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam
pendidikan moral dan pembangunan, karenan itu pendidikan agama harus
dilaksanakan secara intensif mulai dari keluarga, sekolah dan di masyarakat.
Pendidikan agama tidak hanya sekedar mengisi atau memindahkan pengetahuan agama
yang dianutnya semata-mata tetapi lebih jauh dari itu adalah untuk meningkatkan
ketaqwaan dan dharma bhakti umatnya.
PHDI(2003 : 23-24). Himpunan Keputusan Seminar
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV (2003, 23-24). Pengertian
Pendidikan Agama Hindu di bedakan menjadi dua yaitu:
1)
Pendidikan
Agama Hindu di luar sekolah yaitu suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa
masyarakat dengan ajaran agama itu sendiri sebagai pokok materi.
2)
Pendidikan
agama Hindu di sekolah yaitu suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga
anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu. Adapun tujuan pendidikan agama
hindu dijelaskan dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-Aspek Agama Hindu:
1.
Tujuan pendidikan agama Hindu di luar sekolah
1)
Menanamkan
ajaran agama hindu itu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan umat
dalam semua perikehidupan.
2)
Ajaran
agam hindu mengarahkan pertumbuhan tata kemasyarakatan Umat Hindu sehingga
serasi dengan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia.
3)
Menyerasikan
dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran agama hindu dalam
masyarakat antara tattwa, susila dan acara.
4)
Untuk
mengembangkan hidup rukun antara umat beragama.
2.
Tujuan pendidikan agama hindu di dalam sekolah
1)
Membentuk
manusia pancasila yang asti bhakti kerpada ida sang hyang widhi wasa.
2)
Membentuk
moral etika dan spiritual anak didik yang semua dengan ajaran agama hindu.
Pendidikan agama tidak hanya sekedar mengisi
atau memindahkan pengetahuan agama yang dimuatnya, tetapi lebih jauh dari pada
itu adlah untuk meningkatkan asti bhakti (ketaqwaan) dahn dharma bhakti
umatnya. Ketaqwaan seseorang dimulai dari sikap perilaku yang tampak dalam
kehidupan seharihari sebagai pemahaman pada pendidikan agama yang diyakini.
Luas atau sempetnya tingkat keyakinan orang itu akan masih perlu dikaji dari
pengetahuan yang dimiliki orang yang bersangkutan.
Pendidikan agama hindu itu materinya sangat
luas bila dikaji secara mendalam mulai dari tattwa
(filsafat), susila (etika), sampai
pada upacara (ritual) dan lain sebagainya. Belajar agama tidak akan
habis-habisnya seperti yang digambarkan Sang
Hyang Aji Saraswati berupa lambing Genitri, yang terus berputas sehingga
sulit menemukan ujung pangkalnya. Jika penertian pendidikan agama hindu ini
digunakan untuk meninjau tentang Sakralisasi
Gong Kedencong maka akan diperoleh suatu sistem berdasarkan proses
Sakralisasi Gong Kedencong itu
sendiri, bahwa proses gong kedencong ini mengajarkan umatnya untuk taat
terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam melaksanakan tata upacara atau
proses sakralisasi Gong Kedencong itu
sendiri dengan nilai-nilai yang terdapat didalam pelaksanaannya.
Secara garis besar nilai merupakan penghargaan
yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu masalah atau gejala yang terjadi
dilingkungan masyarakat. Dalam setiap pelaksanaan ajaran agama hindu mengandung
nilai-nilai pendidikan di dalamnya, karena segala aktivitas agama bukanlah
sekedar ritual semata. sebagaimana pernyataan Sudharta (2006: 5). Nilai-nilai
pendidikan agama hindu terdiri dari Tattwa
(Filsafat),
Susila (etika) dan Upacara (ritual).
Pelaksanaa Gong Kedencong merupakan salah satu
upacara yang sakral, terkandung nilai-nilai pendidikan agama Hindu di dalam
kesakralan gong kedencong yaitu (1) Nilai Pendidikan Tattwa, (2) Nilai
Pendidikan Susila dan (3) Nilai Pendidikan Acara.
H.
TEORI
Setiap metode ataupun pendekatan selalu didasari oleh pemikiran
ataupun teori-teori yang digunakan sebagai pijakan berpikir. Teori merupakan salah satu alat terpenting
dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan Basri (2006 : 26-27), tanpa
teori tidak ada ilmu pengetahuan. Yang ada hanya kumpulan data, bukti, bahkan
dongeng yang tidak punya rujukan kuat. Dalam bahasa Yunani Theoria,
mempunyai arti diantaranya “kaidah yang mendasari suatu gejala yang sudah
melalui verifikasi”.
Teori juga berarti rangakaian yang logis dari suatu proposisi atau
lebih; ia merupakan informasi ilmiah yang diperoleh dengan meningkatkan
abstraksi, pengertian-pengertian maupun hubungan pada proposisi. Landasan teori
di sini merupakan teori-teori yang dijadikan alat atau landasan untuk membantu
menjawab permasalahan yang dikaji.Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Teori Intraksionisme Simbolik, teori religi,teori nilai
1. Teori
Religi
Robertson Smith (1846-1894) adalah seorang teolog, ahli
ilmu pasti, ahli bahasa dan ksusastraan semit. Karena keahlian itu, ia menjadi
guru besar di bidang bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas Cambriidge.
Teori yang dikemukakan Robertson adalah “upacara Bersaji”. Teori ini tidak didasarkan pada sistem keyakianan atau dokterin religi, tetapi berpangkal pada upacaranya.
Teorinya terungkap dalam buku Lectures on
Religion of the Semites(1889).
Ada tiga gagasan mengenai asas-asa yang
dikemukakan Robertson, yakni: (1) Bahwa disamping sistem keyakinan dan
dokterin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari agama yang memerlukan
studi atau analisa yang khusus. Menurutnya, yang menarik dari aspek ini adalah
bahwa sekalipun latar belakang, keyakinan, atau dokterinya berubah, namun
hampir semua agama upacaranya itu tetap. (2) Bahwa upacara religi atau Agama
mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Mereka
melakukan upacara agama, tidak semata-mata untuk menjalankan kewajiban agama
atau tuhannya, tetapi mereka melakukannya sebagai kewajiban sosial. (3) Bahwa
fungsi upacara bersaji dimana manusia menyajikan sebagai dari seekor binatang,
terutama darahnya kepada dewa, dan sebagainya lagi untuk dimakannya sendiri
merupakan suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas terhadap dewa. Dalam
hal ini, dewa pun dipandang sebagai bagian dari komunitasnya. Itulah sebabnya,
upacara-upacara bersaji yang terdapat pada suku-suku bangsa arab tampak bukan
merupakan upacara yang khidmat, tetapi sebagai suatu upacara yang gembira dan
meriah, tetapi keramat.
Teori ini digunakan
sebagai landasan untuk membahas rumusan masalah yaitu prosesi
penggunaan truna pingitan dalam
upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten
Buleleng
2. Teori
Intraksionisme Simbolik
Menurut Mead interaksi sosial mencakup
pemahaman timbal balik dan panafsiran syarat-syarat dan percakapan, hal ini
merupakan kunci dari masyarakat manusia. Struktur sosial peran dan institusi
mempengaruhi tingkah laku individu, hanya melalui makna bersama yang terungkap
dalam simbol kelompok dan cara simbol-simbol ini ditafsirkan dalam pertukaran
diantara individu-individu(Mead dalam Camphell,2001:253).
Selanjutnya Mead juga mengungkapkan bahwa
interaksi simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya
simbol yang terpenting dan melalui syarat. Simbol bukan merupakan
fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang kontinu. Proses
penyampaian makna inilah yang merupakan subjek materi dari sejumlah analisa
kaum intraksinis simbol(Poloma,2003:257-258). Pandangan lain menyatakan bahwa
intrasionisme simbolis bertumpu pada tiga hal yaitu. (1) Manusia bertindak
terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki benda-benda itu bagi
mereka, (2) Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam
masyarakat manusia, dan (3) Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani melalui
suatu proses penafsiran yang dipergunakan oleh setiap individu dalam
keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapinya(Craib,1986:109-112).
Selanjutnya dikemukakan bahwa minimal ada empat peringkat
simbol yaitu. (1) Simbol konstruksi yang bersifat kepercayaan dan biasanya
merupakan inti dari agama, (2) Simbol evaluasi penilaian moral yang sarat
dengan nilai, norma dan aturan, (3) Simbol kognisi berupa pengetahuan yang
dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang reallitas dan
keteraturan agar manusia lebih memahami lingkungannya dan (4) Simbol ekspresi
berupa pengungkapan perasaan(Triguna,2000:35).
Teori ini digunakan
sebagai landasan untuk membahas rumusan masalah yaitu makna
dari penggunaan truna pingitan dalam
upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten
Buleleng
3.Teori
Nilai
Nilai adalah hal-hal
yang dijunjung tinggi, yang menjadi dasar perilaku. Norma adalah pagar dari
perilaku agar perilaku menghormati dan menjunjung tinggi nilai (Artadi, 2009:
206). Nilai adalah tataran abstrak, perilaku adalah tataran konkret. Nilai sesuatu
yang dijunjung tinggi menjadi nyata dalam menyimpang perilaku. Jadi nilai
adalah dasar perilaku, dalam artian bahwa seseorang menjunjung tinggi
nilai-nilai tertentu tampak nyata dalam perilakunya.
Teori nilai merupakan
nama bersama aksiologi, untuk bidang filsafat, yang menyelidiki hakekat nilai
dan evaluasi (perkiraan, pandangan, tentang nilai). Pada umumnya, teori-teori
nilai dapat dibagi ke dalam teori yang menggabungkan nilai dengan “minat” atau
“kepentingan” dan mengendalikan nilai-nilai mempunyai segi obyektif dan dikenal
oleh intuisi (Artadi, 2009: 152).
Kontjaraningrat dalam
Swastika (2013: 33) menjabarkan nilai adalah ide-ide yang mengkonsepsikan
hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan. Konsepsi-konsepsi serupa itu
biasanya luas dan kabur. Justru karena kabur dan irasional biasanya berakar
dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Menurur Louis Kattsof dalam
bukunya Element of Phylosophy
menyimpulkan bahwa nilai mempunyai 4 macam arti antara lain: 1) bernilai
artinya berguna; 2) Merupakan nilai artinya baik dan benar atau indah; 3)
Mengandung nilai artinya merupakan objek atau keinginan atau sifat yang
menimbulkan sikap setuju; 4) Memberi nilai artinya memutuskan bahwa sesuatu itu
diinginkan atau merupakan nilai (Swastika, 2013: 33-34).
Jadi sesuatu yang
memiliki nilai tidak hanya yang berwujud material atau benda saja, tetapi juga
benda yang tidak berwujud. Yang berwujud material penilaiannya lebih mudah
dilakukan dengan menggunakan alat ukur seperti: pengukuran berat (kg), panjang
(km), dan isi (m3), sedangkan nilai-nilai kerohanian tidak dapat diukur dengan
alat-alat tersebut di atas.
Nilai kerohanian hanya
dapat dinilai dengan menggunakan hati nurani yang ditimbulkan oleh indra-indra,
akal, perasaan dan pikiran (keyakinan).
Bagi manusia, nilai merupakan suatu alat untuk memotivasi di segala bidang
kehidupan. Hal ini dapat kita lihat pada kenyataan manusia yang lain berbuat
lain dari nilai-nilai manusia yang lain karena alasan yang lain pula.
Nilai-nilai ini termuat dalam Tri Kerangka Dasar ajaran Agama Hindu yang
mempunyai tiga dasar pokok yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Tiga kerangka itu
terdiri dari : (1) Tattwa (filsafat), merupakan ajaran abadi dan merupakan inti
masalah agama yang paling utama. (2) Susila, yang berkaitan dengan dharma,
didasari oleh inti pokok ajaran “tattwa”. Dan (3) Upacara (ritual), merupakan
bentuk yajnya dalam rangkaian panca yajnya karena manusia lahir membawa hutang
kelahiran.
Terkait
dengan penelitian yang dilaksanakan, teori nilai digunakan untuk membedah
permasalahan yang ketiga yaitu mengenai “nilai-nilai pendidikan agama yang
terdapat dalam penggunaan truna pingitan
dalam upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten
Buleleng”.
I.
Metode penelitian
Metode
Penelitian adalah suatu cara untuk menemukan kembali suatu kebenaran
(Dohriri,dkk,2001:53). Metode penelitian merupakan jalan yang harus dilalui
dalam mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah. Metode merupakan suatu cara atau strategi kerja yang
digunakan untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu bersangkutan.
Keberadaan metode dalam bidang keilmuan sangat diperlukan, mengingat metode
merupakan media untuk memahami realitas, fenomena dan langkah sistematis
sehubungan dengan tindakan atau upaya ilmiah.
Penelitian yang akan dilaksanakan ini
menggunakan beberapa metode yang akan di gunakan dalam penunjang proses
penelitian atau jalannya penelitian, mulai dari persiapan, pelaksaan
sampai penelitian berakhir dan
menghasilkan suatu yang diakui kebenarannya. penelitian seharusnya menggunakan
metode relevan, serasi, dan sesuai dengan kemampuan peneliti. Adapun yang di
gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lokasi Penelitian
Adapun yang dijadikan sebagai lokasi
dalam penelitian ini adalah di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan
Kabupaten Buleleng. Adapun alasan penelitian memilih lokasi ini adalah karena
keunikan adanya penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yadnya, dimana
secara umum tidak ditemukan adanya
upacara ini ditempat lain atau didaerah lain.
2.Jenis dan pendekatan
Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah jenis penelitian Ex
Post Facto. Penelitian Ex Post Facto menurut Redana (2004:122) dinyatakan bahwa penelitian ini dilakukan
sesudah perbedaan-perbedaan dalam variabel bebas itu terjadi karena
perkembangan alami. Penelitian Ex Post
Facto menurut Kerlingger dalam Redana (2004:122) dinyatakan sebagai
penelitian empiris yang sistematis dimana ilmuan tidak mengendalikan variabel
bebas secara langsung karena perwujudan variabel tersebut terjadi, atau karena
variabel tersebut pada dasarnya tidak dapat dimanipulasi.
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan Ex Post Facto, Pendekatan Psikologi dan Pendekatan
Hermeneutika. Pendekatan Ex
Post Facto adalah cara
pendekatan yang digunakan mengkaji fenomena yang telah terjadi secara wajar
secara alamiah. Pendekatan Psikologi merupakan studi mengenai
aspek psikologis dari perilaku beragama, baik sebagai individu maupun secara
berkelompok atau anggota dari suatu kelompok (aspek psikologis).
Penelitian yang dilakukan ini dapat
digolongkan kedalam jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang
dilakukan pada kondisi objek yang alami, peneliti sebagai instrumen kunci untuk
mengkaji penggunaan truna pingitan dalam upacara di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
3. Jenis Data dan Sumber Data
Data
merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, anggapan yang dianalisis
sebelum digunakan sesuai dengan jenis penelitian. Berdasarkan sumber
pengambilannya, data dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
a. . Data Primer
Menurut Bungin (2001:128) “ data
primer adalah data yang diambil dari sumber data primer (sumber pertama) di
lapangan”. Di jelaskan pula oleh Sugiyono (2006: 15) bahwa “ sumber data primer
adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data”.
Sedangkan menurut Iqbal (2006:16) data primer disebut data asli. Data primer
adalah data yang dalam perolehannya atau pengumpulannya didapat langsung dari
lapangan.
Data asli dalam penelitian ini
dikumpulkan sesuai dengan realitas yang ada dilapangan, serta berdasarkan atas
keterangan dari informan yang diambil dengan menggunakan teknik tertentu, dan
bersifat deskriptif.
b. Data Sekunder
Data Sekunder menurut Sedarmayanti
(2002:179) adalah data yang diperoleh dari sumber lain yang telah ada, seperti:
dokumen, lontar-lontar dan buku-buku sebagai penunjang yang isinya berkaitan
dengan topik penelitian. Data sekunder dijelaskan Bungin (2001:128) adalah data
yang diperoleh dari sumber kedua atau sekunder. Sedangkan menurut Sugiyono
(2006:153) data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.
Data sekunder dalam penelitian ini
berupa buku-buku, artikel, dan karya ilmiah penelitian terdahulu yang ada
kaitannya dengan permasalahan. Adapun data-data yang dikutip dari data sekunder
adalah tentang gambaran umum lokasi penelitian, teori-teori, metode, tinjauan
pustaka serta konsep-konsep yang terkait
4. Objek dan Subjek
Penelitian
Melakukan suatu penelitian yang bersifat
akademis, maka sudah tentu harus ditentukan objek penelitiannya. Untuk mencapai
suatu penelitian dimaksud, disamping menentukan objek penelitian juga harus
menentukan subyek penelitian sebagai sumber pendukung.
a. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah setiap
gejala atau peristiwa yang akan diteliti, apakah itu gejala alam (natural fenomena) maupun gejala
kehidupan (efek fenomena). (Arikunto, 2006 : 118). Dalam penelitian ini
yang merupakan objek penelitian adalah orang-orang yang menjadi truna pingitan di Desa Kubutambahan,
Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.
b. Subjek Penelitian
Menurut Azwar (2001:34) subjek
penelitian adalah sumber utama dari penelitian, yaitu yang memiliki data
mengenai variabel-variabel yang diteliti. Melengkapi pengertian tersebut di
jelaskan sebagai berikut: Untuk memperoleh data yang valid, maka perlu ada
pendekatan subjek yang diteliti. Ada
dua metode pendekatan subjek penelitian yaitu : metode emperis dan eksperimen
(Margono, 2007:155)
Penelitian ini
hanya mengunakan metode emperis. Metode emperis adalah suatu cara pendekatan
subjek dengan sifat datanya telah ada secara wajar. Subjek dalam penelitian ini
adalah masyarakat di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan yang melakukan
pernah menjadi Truna pingitan di Desa
Kubutambahan Kecamatan kubutambahan Kabupaten Buleleng.
5. Teknik Penentuan Informan
Menururt Arikunto (2007:145) bahwa “ informan adalah
orang yang memberikan informasi “. Pendapat lain menjelaskan sebagai berikut :
Tiap
penelitian memerlukan sejumlah orang yang harus diselidiki. Secara ideal harus
diselidiki keseluruhan populasi berjumlah besar diambil sejumlah sampel secara representatif, yang mewakili
keseluruhan populasi itu. Untuk meneliti penyebaran informasi tertentu di
kalangan kelompok akan lebih sesuai menggunakan teknik purposive sampling, karena dalam kenyataan masyarakat Hindu tidak
semua mengetahui gejala yang ada di lapangan, manfaatnya adalah untuk
menghindari salah interprestasi terhadap gejala yang ada. Menurut Puttnam dalam
mengindentifikasi subjek penelitian dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu: (1)
pendekatan posisional/ positional approach; (2) pendekatan
reputasional/reputaional; dan (3) pendekatan pengambilan keputusan / decisional
approach (Nasution, 2004: 86-99).
Informan dalam
penelitian ini ditentukan dengan melihat syarat yang diajukan sesuai dengan
syarat keilmiahan informan yakni memiliki pemahaman keagamaan yang terkait
tentang pelaksanaan penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng,
kemudian memilki tingkat kedewasaan cara berpikir, demikian juga melihat umur
dan jabatan dalam masyarakat. Dengan demikian informan penelitian ini terdiri
dari Teruna, Pemangku, Serati, dan tokoh masyarakat Hindu di Desa kubutambahan Kecamatan
Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data.
Suatu teknik atau cara untuk mendapatkan keterangan secara benar dan nyata
diperlukan dalam penyusunan sebuah karya ilmiah. Dalam penelitian kualitatif,
pengumpulan data lazimnya menggunakan obeservasi dan wawancara atau dengan
menggunakan sumber lain seperti catatan-catatan kepustakaan.
Mendukung jalannya
penelitian,ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan
instrumen (alat bantu) penelitian yang sebagai sarana yang dapat diwujudkan
dalam benda. Misalnya berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan, persiapankan
sumber-sumber data seperti buku-buku, arsip tentang pelaksanaan penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan,
Kabupaten Buleleng. Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan
mencakup:
1.
Teknik Observasi
Observasi adalah cara pengumpulan data yang
dilaksanakan melalui pengamatan panca indra dan disertai pencatatan secara
sistematis. Teknik Observasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik observasi tidak langsung. Teknik
Observasi tidak langsung adalah observasi atau pengamatan yang dilakukan secara
tidak langsung pada objek yang diteliti melainkan pengamatan yang dilaksanakan
pada media atau alat bantu observasi seperti vidio, dokumentasi dll.
Bachtiar (dalam Redana, 2004:272) dinyatakan alat bantu yang diperlukan dalam
pengamatan diantaranya: alat
pemotretan, kamera, juga alat perekam audio visual. Narbuko dan Achmadi (2006 : 73) menyatakan alat-alat observasi pada
dasarnya ada lima yaitu: anecdotal
record, catatan berkala, chek lists, rating
scale, dan mechanical devices.
2.Teknik Wawancara
Wawancara merupakan pengumpulan
data yang diperoleh melalui wawancara tatap muka antara intervierwer (orang yang menginterview)
dengan informan (orang yang diinterview)
atau tatap muka (face to face) dengan
maksud tertentu (Setya, 1983:37). Tujuan yang ingin dicapai dari tekhnik ini
adalah memperoleh data yang obyektif dan relevan sesuai maksud dan tujuan dari
penyelidikan tersebut. Peneliti dalam melaksanakan wawancara harus menggunakan
alat bantu wawancara sebagai landasan di dalam melaksanakan wawancara dengan
informan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan interview guide atau pedoman wawancara dan recording supaya
informan lebih mudah dalam menganalis data yang telah diperoleh melalui
wawancara dengan informan
3.
Teknik Studi Kepustakaan
Metode studi kepustakaan adalah sebuah penelitian yang menggunakan pustaka
sebagai sumber data dan perpustakaan sebagai lokasi penelitian. Metode perspektif kepustakaan
merupakan metode yang digunakan dalam mengkaji bahan pustaka yang langsung
memberikan informasi secara tersurat maupun tersirat yang berupa sumber bacaan,
buku-buku refrensi atau hasil penelitian
ilmiah lainnya yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang diangkat (Hasan,
2002:80).
Dalam karya ilmiah ini, peneliti
menggunakan metode kepustakaan yaitu cara mengumpulkan data melalui
sumber-sumber pustaka berupa buku-buku dan karya ilmiah yang sudah dikaji
secara ilmiah dan berkaitan dengan permasalan penelitian karya ilmiah ini seperti buku tentang metodologi
penelitian, kitab suci Agama Hindu, buku tentang upacara agama serta buku yang
lain yang relevan dengan karya
ilmiah ini. Pustaka-pustaka yang dimaksud untuk menunjang dan memperkaya
dalam mengembangkan konsep, teori dan analisis penelitian.
1.
Teknik Analisis Data
Tahapan analisis data adalah
salah satu tahapan kunci dalam penelitian. Tahap ini baru bisa dilakukan
setelah semua data terkumpul. Masalah yang tidak kalah penting dari apa yang
sudah diperoleh dari hasil penelitian adalah pengelolahan data. Dalam
penelitian kualitatif,
analisis data telah dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan atau mulai dari
persiapan sebuah penelitian sampai akhir sebuah penelitian. Artinya, analisis
data telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke
lapangan dan berlangsung secara berkelanjutan sampai akhir penulisan sebuah
penelitian. Menganalisis data dalam penelitian kualitatif lebih difokuskan
selama proses di lapangan bersama dengan pengumpulan data (Sugiyono, 2006:275).
Miles dan Huberman dalam
(Basrowi dan Suwandi, 2008: 209) dinyatakan bahwa analisis data kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Teknik analisis yang dilakukan
mencakup tiga kegiatan yang bersamaan: (1) reduksi data (2) penyajian data, dan
(3) penarikan kesimpulan (verifiksi).
DAFTAR PUSTAKA
Artadi,ketut,2009.
Kebudayaan spiritualitas (nilai makna dan
martabat kebudayaan) dimensi tubuh akal roh dan jiwa.denpasar:pustaka bali
post
…………………,
kebudayaan spiritual.denpasar.pustaka bali post
Bangli,I.
B., 2004. Mutiara dalam budaya hindu Bali
(pedoman guide ).surabaya: paramita
Dinas
pendidikan, 1991. Kamus Bali-indonesia
Geriya,swarsi,
2004.upacara bayi dalam kandungan (sampai
bayi umur 1 bulan 7 hari ). Surabaya: paramita
http://congkodok.blogspot.com/search/label/Pengertian%20Upacara(diakses tanggal
28 november 2013)
Kuntjara,
esther,2006. Penelitian kebudayaan.yogyakarta:Graha
Ilmu
Pandita,
Ida dan Wijayanda, mpu Jaya,2005. Tatanan
upakara lan upacara manusa yajna. Surabaya: paramita
Putra,
mas,1985.Upacara Dewa Yadya.
Denpasar.
Soelaeman,munandar,2001.ilmu social dasar (teori dan konsep ilmu
social).bandung:Aditama
Sudharta,tjok
raid an atmaja, oka punia, 2005. Upadesa
: tentang ajaran-ajaran agama hindu. Surabaya: paramita
Tim
penyusun,2010. Widya paramitha: agama
hindu. Surabaya : paramita
Tim
penyusun,2005. Kamus istilah agama hindu
Titib,I
Made,1997. Pedoman upacara Suddhi wadani.denpasar:
upadesa sastra
Triguna, Yuda I
B. 2000. Teori Tentang Simbol.
Denpasar: Widya Dharma
Wirawan,I.B.,
2012. Teori-teori social dalam tiga
paradigm (fakta social,definisi social, dan perilaku social ).jakarta : PT
Fajar Interpratama Mandiri