Senin, 20 Januari 2014

ilmu pengetahuan, guru dan murid



I lmu   Pengetahuan, Guru  &  Murid

Oleh : Nyoman Wistara
Dept. of Forestry, University Of Wisconsin Madison, USA
A
yat –ayat Suci dalam kitab suci,cerita-cerita keagamaan ataupun cerita rakyat biasanya mengandung suatu ayat suci tidak diragukan lagi adalah suatu pegangan hidup bagi penganutnya, dalam Agama Hindu, Veda nampaknya tidak hanya mengandung ajaran yang berhubungan dengan keTuhanan dan etika kehidupan, tetapi juga mengandung suatu makna ilmu pengetahuan duniawi. Sebagai contoh, bagaimana angkaa nol (0) ditemukan oleh orang India. Konon angka nol tersebut ditejemahkan dari konsep Beahman (Tuhan) yang kalau dibagi atau dikali berapapun tetaplah nol. Artinya Tuhan tetap tidak berubah meskipun terbagi-bagi dalam setiap keberadaan di alam semesta ini. Tanpa angka nol dan satu, maka kemajuan teknologi computer saat ini tentu tidak pernah kita jumpai.
Hindu mempunyai Srimad Bhagavatam, Islam (Negara-negara Arab) mempunyai Kisah 1001 malam dan agama-Agama lain tentu mempunyai cerita-cerita klasik mereka. Cerita-cerita keagamaan yang kita meliki, akan bermanfaat sebagaimana makna yang terkandung didalamnya bila kita mempunyai kemampuan dan kemauan untuk  menggali makna tersebut. Sebagai staf pengajar di sebuah perguruan tinggi (IPB-Bogor), penulis sangat tertarik dengan cerita berikut. Cerita ini bersumber dari sebuah ayat di dalam Srimad Ghagavatam.
Di Zaman dahulu kala, konon ada seorang raja yang sangat prihatin melihat kekeringan melanda negerinya (bumi). Tidak ada setetes airpun yang turun dari langit. Sang Raja berfikir bahwa bila kekeringan itu berlangsung terus, maka hancurlah bumi ini. Akhirnya beliau bertapa memohon kemurahan Dewi ganga untuk berkenann menurunkan airnya ke bumi. Kuatnya tapa beliau menyebabkan Dewa gangga berkenan menurunkan air ke bumi. Namun  Gangga mengalami kesulitan untuk mengendalikan curahan air yang melimpah ruah itu. Bila air tersebut langsung dicurahkan dari surge, maka derasnya aliran air akan menghancurkan bumi. Dewa Gangga memerintahkan Sang Raja  untuk memohon bantuan kehadapan Hyang Shiva. Melihat ketulusan hati Sang Raja , maka shiva berkenan menyalurkan airnya Gangga melalui Rambut Shiva yang panjang,lebat dan ikal itu. Rambut shiva menyerap air yang dicurahkan gamgga, kemudian melalui rambut tersebut,tetes demi tetes air itu mengalir ke bumi. Maka kembalilah bumi menjadi subur dan makmur. Tanaman mulai tumbuh dan menghijau. Rakyatpun selamat dari kelaparan.
Dari cerita sederhana tersebut, kita bisa melihat fungsi dari masing-masing pelaku. Bila kita umpamakan bahwa air (Dewi Gangga) adalah ilmu pengetahuan, maka Shiva adalah guru, dan bumi adalah murid. Ilmu pengetahuan disini menyangkut semua jenis pengetahuan (duniawi maupun ketuhanan).Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang mutlak harus dimiliki setiap manusia.
Tanpa ilmu pengetahuan , maka manusia adalah kehancuran itu sendiri. Pentingya ilmu pengetahuan dengan jelas disebutkan dalam BhagavadGita,yang antara lain menyebutkan bahwa lautan dosa bisa diseberangi dengan ilmu pengetahuan. Manusia ibarat segumpulan tanah, bila tidak mengandung cukup air, maka tanah tersebut akan tercerai berai menjadi debu. Namun bila diberikan air melebihi kapasitas tampungnya, maka tanah tersebut akan hancur (terlarut) juga.Jadi pengetahuan yang perlu dimiliki masing-masing individu manusiapun harus sesuai dengan daya tamping (kapasitas) individu yang bersangkutan.
Agama Hindu mengajarkan bahwa dalam mempelajari ilmu pengetahuan, maka keberadaan seorang guru adalah  suatu kemutlakan.ini adalah suatu konsep pemikiran yang kebenarannya tidak dapat dibantah. Seorang murid tidaklah mengkin mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara langsung tanpa perantara seorang guru. Karena buku ttersebut tentu ditulis  oleh seorang yang tahu akan ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Falam hal ini, si penulis dapat dikategorikan sebagai guru tidak langsung dari murid itu. Bila seorang murid belajar tanpa bimbingan seorang guru, maka kesulitan pertama si murid adalah tidak tahu dari mana memulainya, dengan demikian akan membingungkan dan mungkin bisa menghancurkan murid yang bersangkutan. Seorang murid harus menerima ilmu pengetahuan secara bertahap. Tidaklah mungkin untuk memberikan pelajaran kalkulus kepada seorang anak sekolah dasar, tanpa terlebih dahulu memberikan konsep matematika sederhana kepada mereka.
Ibarat Shiva,yang harus menyerap air Gangga terlebih dahulu sebelum meneteskannya ke bumi,maka seorang guru wajib mencurahkan hidupnya untuk belajar sebelum mengajar. Tanpa setetes air di dalam rambut Shiva , apakah yang bisa diteteskan ke bumi? Tanpa ilmu pengetahuan  yang baik, bagaimanakah seorang guru mampu menjadi pengajar dan pendidik yang baik? Untuk itulah betapa pentingnya bagi seorang yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan untuk berusaha menuntut imu setingi mungkin. Sayangnya banyak guru, bahkan ditingkat perguruan tinggi tidak berusaha mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan di bidangnya. Tidak jarang pula kita mendengar seorang mahasiswa mengeluh tentang keakuan dosennya. Sering kita mendengar seorang mahasiswa yang relative lebih pintar dari teman sekelasnnya mendapat nilai buruk karena mempunyai hubungan tidak harmonis dengan dosennya.
Seorang guru hendaknya berusaha mengetahui kemampuan muridnya untuk menerima ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Kemampuan murid dalam hal ini berhubungan dengan kecepatan penerimaan (untuk mengerti) dan seberapa jauh suatu ilmu dapat diterima oleh si murid. Kesabaran yang tinggi dalam mengajar merupakan yang sangat penting dalam mentransfer pengetahuan. Kesabaran seorang guru erat hubungannya dengan kecepatan murid untuk mengerti. Cerita ari Srimad Bhagavatam di atas merupakan analogi yang sangat baik betapa pentingya kesabaran itu. Dimana Shuva dengansabara menurukan air tetes demi tetes ke bumi yang kekeringan.
Dari cerita sederhana tersebut jelas terlihat bahwa betapa pentingya cara penurunan pengetahuan, individu yang terlibat dalam pendidikan, dan tentu fungsi dari ilmu pengetahuan itu untuk kesejahteraan umat manusia dan lingkungannya.
(warta hindu dharma  no.330, hal 27-29)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar