Minggu, 27 April 2014

Sejarah Desa Kubutambahan

Pada umumnya nama suatu Desa,Banjar,Subak dan tempat-tempat lainnya mempunyai latar belakang sejarah tersendiri.Ada beberapa alternative yang dipakai dalam pemberian nama tersebut antara lain :
  1. Keadaan alam
  2. Mata Pencahaian
  3. Daerah,Desa,Banjar,atau Dusun asal mereka
  4. Nama-nama orang yang dianggap berjasa dalam mennentukan daerah tersebut
Desa,banjar yang tergolong kuno sebagian besar lagi diantaranya hanya di ketahui melalui cerita-cerita rakyat yang turun menurun (legenda) dari leluhur mereka,dan sebagian lagi memang terbukti secara tertulis dalam babad pemancangan,prasasti dan lain-lain. Untuk yang bersifat legenda sering kali menimbulkan banyak versi dalam pengungkapan masalah dalam pengungkapan sejarah dari daerah tersebut.
Sama halnya dengan Desa Kubutambahan,sumber sejarah belum dapat diungkapkan karena suatu hal sangat pinsip warga Desa Kubutambahan tidak berani untuk membaca maupun membaca menyalin prasasti tesebut .Dan juga karena prasasti tersebut hanya dapat diambil jika telah mendapat ijin ( wahyu ) dari tempat penyimpanan  (wahyu) dari tempat penyimpannannya tidak menentu oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa.Untuk itu pada kesempatan ini kami memaparkan hasil cerita dan piteket para leluhur warga Desa Kubutambahan yang antara lain sebagai berikut :
Bahwa dahulu kala letak Desa Kubutambahan berada di sebelah timur dari letaknya yang sekarang dan berada di pinggir pantai dan bernama desa (Kerajaan) Besi Majajar,yang pusat pemerintahannya disekitar Pura Pulo Kerta Negara Loka sekarang, di daerah pantai yang bernama Kutabanding yang kini di huni oleh para karma pura tersebut ada yang bernama Ratu Gede Subandar  (mungkin berasal dari Syah Bandar ) dan Ida Batara Solo.
Adapun penguasaannya pada waktu itu bergelar Ida Ratu Hyang Ing Hyang ( yang berate Raja) dan kuno mempunyai wilayah sebanyak 18 bale agung dari sebelah timur yaitu Desa Tianyar dan sebelah barat Desa Desa Pemuteran,ini terbukti pada waktu jaman sebelum kemerdekaan,Ida Batara Hyang Ing Hyang jika mepeningan sampai pelabuhan aji dan Desa Kubutambahan bernama sama dengan salah satu Pura di Desa Patemon yaitu Pura Ratu Gede Patih dimana pada waktu itu pura tersebut menyelengarakan Upacara besar masih mengadakan Upacara tata karma adat yaitu Kuntab (hadir).
 Nama Besi Mejajar untuk  Desa Kubutambahan konon beberapa Pura yang ada di Desa Kubutambahan dan beberapa Pura  yang ada di Kubutambahan (terbukti sampai saat ini) terletak berjejer sepanjang pantai Desa Kubutambahan  dan beberapa pura yang mengitari Desa kubutambahan searah delapan penjuru mata angin,dari deretan Pura-pura tersebut merupakan suatu jajaran yang persis benteng yang juga merupakan penjagaan dari musuh-musuh pada waktu dari sebrang lautan.Pada suatu ketika Pemerintahan Desa Besi Mejajar diserang oleh perusuh dengan jumblah yang cukup banyak dari sebrang lautan yang juga bertepatan dengan banjir (air bah) pada pada sebelah timur pusat pemerintahan yaitu di daerah Yeh Buah yang sekarang yang sekarang berasal dari kata Yeh Wah (banjir).
Untuk menyelamatkan pucuk pimpinan (raja) maka atas kesepakatan pusat pemerintahan di pindahkan keselatan,karena tempat pusat kerajaan amat mudah di serang oleh para musuh-musuh dari sebrang dan juga tempat tersebut merupakan tempat muara pangkung pembuangan air yang sangat besar dari atas Desa Bila ,Bengkala,dan Tamblang.
Semua pemerintahan itu bernama bernama Desa Bulian yang berarti abulih (satu).Kejadian-Kejadian pada saat pemindahan pusat kerajaan dalam keadaan darurat dan masih sampai sekarang tetap ada.Apabila warga Desa Bulian yang tembus ke Yeh Buah sebelah barat Pura Penyusuhan yang berasal dari kata banyu suan (pembersihan,petirtaan dan sampai sekarang warga dea Kubutambahan mepeningan ngiring Ida Bhatara ke pura penyusuhan tersebut ) Pada suatu ketika keadaan sudah mulai pulih kembali dari segala ancaman,maka datanglah lagi ancaman lain yaitu ancaman dari seorang yang bewujud Raksasa yang sangat besar mengangu penduduk Desa Majajar semua kekuatan dan cara lain telah dikerahkan untuk melawan raksasa tersebut .
Pada suatu ketika pada saat keadan semakin genting datanglah utusan dari kerajaan Gelgel Kelungkung yang hendak mencari daerah pertanian baru di daerah Den Bukit.Adapun nama utusan tersebut benama Ki Gusti Tambahan bersedia membantu yang sangat gawat tersebut Ki Gusti Tambahan bersedia membantu melenyapkan raksasa tersebut dengan syarat jika berhasil diberikan tanah untuk dibuka untuk tanah pertanian.Setelah persyratan tersebut disepakati maka pemuka-pemuka pemerintahan yaitu Ki Pasek Menyali,Ki Pasek Bebetin dan Ki Pasek Bayan,maka Ki Gusti Ngurah Tambahan memohon doa restu dan petunjuk dari Ki Dukuh Bulian dan di beri keris yang bernama KI Baan Kawu oleh Ki Gusti Ngurah Tambahan berhasil membinasakan raksasa tersebut tetapi dengan diiringi pesan oleh raksasa tersebut,yang juga disangupi oleh Ki Gusti Ngurah Tambahan yang berhasil hal-hal sebagai berikut :
1.            Bahwa ia dapat binasa jika di bunuh dengan keris Ki Baan KAwu oleh Ki Gusti Tambahan
2.          Agar setelah raksasa tersebut mati agar sanggup Ki Gusti Ngurah Tambahan  menjaga dua buah keris yang bernama Ki Baru Sembah dan Ki Baru Ular yang bermanfaat sebagai penolak bala
3.        Agar I Gusti Ngurah Tambahan sanggup menjadi penguasa di sebelah utara Desa Bulian ,dan tidak kembali ke gelgel,karena karena hal ini sudah menjadi hak dari Ki Gusti Ngurah Tambahan menetap di sini.
Setelah semua pesan itu di sanggupi oleh Ki Gusti Ngurah Tambahan maka matilah raksasa tersebut. Dan pucak pimpinan di Bulian beserta para kerabatnya yaitu Ki Pasek Menyali,Ki Pasek Bebetin,KI Pasek Bayan sepakat untuk memberikan tanah untuk di buka oleh Ki Gusti Ngurah Tambahan yaitu :
1.            Daerah Tukad aya (daya) sampai pinggir timur Desa Sangsit
2.            Daerah alas Agung (alas arum) Bungkulan dan sekitarnya

Maka Ki Gusti Ngurah Tambahan beserta pengikutnya membuat pondok (kubu) untuk tempat istiraat dan menyimpan alat-alat yang dipakai oleh oleh para pengikutnya untuk membuka lahan tersebut,dan tempat tersebut dinamakan Kubu Ki Gusti Ngurah Tambahan,yang lama-kelamaan dengan adanya kemajuan jaman maka di ubah menjadi Kubutambahan sampai saat ini.

Kamis, 23 Januari 2014

PENGGUNAAN TRUNA PINGITAN DALAM UPACARA DEWA YAJNYA DI DESA KUBUTAMBAHAN KECAMATAN KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG ( kajian nilai-nilai pendidikan agama hindu )

PROPOSAL PENELITIAN
PENGGUNAAN TRUNA PINGITAN DALAM UPACARA DEWA YAJNA DI DESA KUBUTAMBAHAN KECAMATAN KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG  (Kajian Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu)




OLEH
Kadek Handara
NIM : 10.1.1.1.1 3830






JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS  DHARMA  ACARYA
INSTITUT  HINDU  DHARMA  NEGERI
DENPASAR
2013



A.    Judul : PENGGUNAAN TRUNA PINGITAN DALAM UPACARA DEWA YAJNYA DI DESA KUBUTAMBAHAN KECAMATAN KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG ( kajian nilai-nilai pendidikan agama hindu )
 B.     Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara yang memiliki banyak pulau dan juga memiliki banyak kebudayaan,ras dan agama, di dalam undang-undang  dasar ada lima agama yang di sahkan oleh pemerintah di Indonesia yakni Agama Hindu,Agama Islam,Agama Kristen,Agama Budha dan Agama Kong Khu Chu Kelima agama ini yang memberikan kekayaan bagi Indonesia dari kebudayaan, tradisi, upacara yang dimiliki oleh masing-masing kelima agama.Salah satunya Agama Hindu yang disebarkan oleh Maha Rsi Markendrya yang datang ke Indonesia pada saat itu juga Indonesia masih dalam sistem kerajaan dan menganut agama hindu dan pada akhirnya datanglah pedagang dan menyebarakan agama islam secara perlahan-lahan.
            Pada saat islam mulai menyebar di pulau jawa Maha Rsi akhirnya pergi dan  datang ke Bali untuk mengajarkan Agama Hindu pada masyarakat Bali, pada saat itu masyarakat Bali sudah memiliki suatu kepercayaan dan menyembah para leluhur sehingga ajaran agama hindu bisa diterima dan di padukan dengan keyakinan yang ada di Bali sehingga Rsi menetap di Bali
           

Agama hindu memberikan suatu hal baru kepada masyarakat di Bali dan juga memberikan suatu cara untuk memuja  Tuhan dan para leluhur  dengan menggunakan sarana dan prasarana, seiring dengan perkembangan zaman agama hindu di bali,  bentuk sarana yang di persembahkanpun berubah  pula dulu yang hanya bunga sekarang sudah berupa canang dan juga berupa banten.
Tidak hanya sarana dan pra sarana  Sekarang upacara-upacarapun digolongkan dalam lima yang disebut panca yajna yakni dewa yadnya,rsi yadnya,manusa yadnya,pitra yadnya dan bhuta yajna, kelima yadnya ini sudah digolongkan untuk memuja ataupun melakukan yadnya berdasarkan arti dari masing-masing bagian panca yadnya. Berdasarkan kata panca yadnya dapat dipilah menjadi dua kata yaitu dari kata “ panca” dan yajna, panca artinya lima sedangkan kata yadnya berarti pengorbanan suci ,jadi kata panca yadnya artinya lima pengorbana suci yang tulus iklas tanpa pamrih.
Dewa yajna adalah korban suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para Dewa agar manusia senantiasa mendapat lindunganNya. Dapat dikatakan juga bahwa kebanyakan dari korban suci tersebut berbentuk bebanten (sesajen) dalam wujud upakara. Rsi yajna adalah korban suci tulus ikhlas yang bertujuan menyucikan manusia secara lahir batin untuk menjadi sulinggih.
Pitra yajna adalah korban suci yang tulus ikhlas ditujukan kepada para leluhur agar beliau melindungi segenap keturunannya demi keselamatan bersama. Manusa yajna adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia mulai dari terbentuknya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia. Bhuta yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya dan memelihara serta memberi penyupatan kepada para bhutakala dan mahluk-mahluk yang dianggap rendah dari manusia, seperti jin, peri, setan, binatang dan sebagainya. Tujuan pembersihannya adalah menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada pada mahluk-mahluk itu dan pembersihan pada alam akibat pengaruh negatif dari mahluk tersebut. Dengan melakukan upacara bhuta yadnya maka sifat-sifat kebaikan dan kekutan dari mahluk itu dapat berguna bagi kesejahteraan manusia.Dalam bhuta yadnya , juga terkandung pengertian usaha penyupatan terhadap mahluk-mahluk rendah, sehingga mereka menjadi mahluk yang dinaikkan derajatnya untuk menjalani karmanya.
Upacara yajna  yang ada di bali juga  di warnai dengan suatu tradisi yang ada di masing-masing desa sehingga upacara itu terlihat unik dan memberi kesan yang baik dan memberikan suatu nilai-nilai yang terdapat dalam upacara itu.Salah satunya di Desa Kubutambahan dalam melaksanakan upacara dewa yajna yang dilaksanakan lima tahun sekali pada purnama kapat, dalam serangkaian upacara dewa yajna itu menggunakan truna pingitan dalam melaksanakan upacara itu.
Truna pingitan di ambil sebelum upacara itu mulai dilaksanakan dan juga yang boleh menjadi truna pingitan ialah yang baru menèk bajang sebelum menjadi pingitan para truna- truna (laki-laki) di upacarai agar bersih baik sekala maupun niskala,setelah melakukan upacara itu baru truna menjadi seorang pingitan yang dari awal  mulainya piodalan sampai penyineban truna pingitan tidak boleh keluar dari area pura sampai piodalan itu berakhir. Mencermati hal tersebut, maka perlu di teliti lebih jauh melalui penelitian yang berjudul:  Penggunaan Truna Pingitan dalam Piodalan Di Pura Bale Agung Di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
C.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan ssebagai berikut
1.      Bagaimana prosesi penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yadnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng ?
2.      Apa makna dari penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yadnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng ?
3.      nilai-nilai pendidikan agama apakah yang terdapat dalam penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yadnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng ?
D.    Tujuan Penelitian
Tujuan merupakan salah satu persyaratan dalam penulisan sebuah penelitian, dari sebuah penelitian yang ingin dicapai ialah mampu memecahkan dan member solusi terhadap masalah-masalah yang tedapat dalam sebuah penelitiaan. Adapun tujuan yang dapat dibagi menjadi dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus

1.      Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini ialah untuk mengetahui lebih mendalam tentang penggunaan trune pingitan di Desa Kubutambahan yang sudah ada dan terlaksana sejak dulu dan juga untuk memperkenalkan penggunaan truna pingitan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng dalam upacara Dewa Yajna
2.      Tujuan Khusus
Adapun Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam  sebuah penelitian ini yaitu
1.      Untuk mengetahui prosesi penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa Yajna di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng
2.      Untuk mengetahui makna dari penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa Yajna di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng
3.      Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama yang terdapat dalam penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa Yajna di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng
E.     Manfaat Penelitian
Selain tujuan adapula manfaat dalam suatu penelitian, manfaat ini bisa menjadikan suatu pengetahuan baik si peneliti maupun mahasiswa yang membaca penelitian ini. Karena keberadaan penggunaan truna pingitan dalam upacara Dewa Yajna di Desa kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng, sangatlah berbeda dari daerah-daerah lain khususnya di Bali. Jadi dalam penelitian manfaat ini dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.      Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian tentang penggunaan trune pingitan di Desa Kubutambahan menambah dan member refrensi kepustakaan ilmu pendidikan agama hindu dan juga memberikan suatu informasi kepada masyarakat tentang keberadaan penggunaan truna pingitan dalam upacara Dewa Yajna di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
2.      Manfaat Praktis
1. Hasil dari penelitian ini mampu menjadikan suatu pedoman bagi umat hindu yang ada di desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng. Bagi peneliti mendapatkan suatu pengalaman dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dalam penelitian ini.
2.Hasil penelitian ini dapat diguanakan oleh tokoh-tokoh adat,tokoh-tokoh agama,prejuru dan masyarakat khususbya yang ada di Desa Kubutambahan. Dan para tokoh memberikan suatu pemahaman tentang penggunaan trune pingitan dalam upacara Dewa Yajna.
3.Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan unutk meningkatkan pemahaman masyarakat Hindu di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.


F.     Kajian Pustaka
Kajian pustaka atau literatur perlu dilakukan untuk menguasai teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian. Penelitian tidak mungkin dilakukan dengan baik tanpa orentasi pendahuluan yang bersumber kepada literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian. Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian kualitatif adalah mendayagunakan sumber informasi yang terdapat dalam literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian Iskandar (2009).
Kepustakaan yang akan dikaji dalam mendukung penelitian  Gay (dalam Tarboni 2001) berpendapat bahwa kajian kepustakaan meliputi pengidentifikasian secara sistematis, penemuan dan análisis, dokumen-dokumen yang memuat informasi. Yang berkaitan dengan masalah penelitian. Sesuai dengan pendapat Tarboni di atas, maka beberapa hasil penelitian yang terkait dengan penelitian yang sedang dilaksanakan dapat dikemukakan dari beberapa orang peneliti yang telah meneliti tentang upacara. Dari identifikasi beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan objek penelitian yang akan penulis kerjakan.
Penelitian ini peneliti berusaha untuk menemukan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Penggunaan Truna Pingitan dalam Upacara Dewa Yajna di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng, baik melalui invebtarisasi dokumen dilokasi penelitian, perpustakaan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, perpustakaan umum Pemerintah Kabupaten Buleleng dan dokumen-dokumen yang tersebar dimasyarakat. Setelah melalui tahap-tahap identifikasi dan penemuan dokumen-dokumen serta membacanya, maka ditemukan karya-karya ilmiah yang ada hubungannya dengan penelitian ini sebagai berikut :
      Mas Putra (2000) dalam buku Upakara Yadnya dinyatakan kata upacara identik dengan kata yadnya yang berasal dari kata Yaj yang artinya korban, sedangkan Yadnya artinya yang berhubungan dengan korban. Dalam hal ini korban yang dimaksud adalah pengabdian dan cinta kasih, sebab pelaksanaan Yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) yang telah menciptakan manusia serta alam semesta ini dengan YadnyaNya, sehingga sering disebutkan : Yadnya adalah korban suci yang dilakukan secara tulus ikhlas dengan tidak mengikatkan diri pada hasilnya.
      Yajna adalah korban suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas terhadap Tuhan dalam berbagai manifestasinya ,  terhadap leluhur, para orang bijak, sesame manusia, dan terhadap mahluk lain baik yang tampak maupun tidak tampak. Dasar pelaksanaan yajna adalah konsep adanya hutang pada setiap manusia sebagaimana terdapat dalam  ajaran Tri Rnam yaitu tiga macam hutang manusia, yaitu hutang kepada Tuhan ( Dewa Rnam ), hutang kepada para leluhur (pitra Rnam), dan Hutang kepada para Rsi ( Rsi Rnam ). Dasar pelaksanaa yajna. Selain konsep Tri Rna, juga  terdapat rujukan dalam kitab suci Manawa Dharmasastra dan BhagawadGita, yang kemudian di Bali ditulis kembali dalam lontar.
      Hasan Alwi (2005) dalam kamus besar Bahasa Indonesia dinyatakan upacara berarti (1) tanda-tanda kebesaran, (2) peralatan (menurut adat istiadat); rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama, (3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. Dalam hal ini upacara yang dilakukan pada saat selesai mendirikan atau pemugaran tempat suci.
      Dinas pendidikan (1991) dalam kamus Bali-Indonesia dinyatakan kata  “Truna” berarti  jejaka/ laki-laki sedangkan kata “pingitan” berarti angker/ memiliki kekuatan gaib.
G.    Konsep
Konsep merupakan salah satu syarat yang harus ada dalam kegiatan penelitian atau penulisan karya ilmiah. Hal itu disebabkan konsep mampu mengantarkan sejumlah variabel terhadap topik yang diteliti. Konsep dalam kegiatan penelitian dalam penulisan karya ilmiah wajib ditaati, dipatuhi serta dilaksanakan oleh peneliti. Tujuan agar variabel dalam topik yang akan diteliti tidak menyimpang dari kegiatan penelitian. Bahwasannya konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi, batasan secara singkat dan sekelompok fakta atau gejala atau merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penelitian (Koentjaraningrat, 1991:10).
1.      Truna Pingitan
   Dinas pendidikan (1991) dalam kamus Bali-Indonesia dinyatakan kata  “Truna” berarti  jejaka/ laki-laki sedangkan kata “pingitan” berarti mensucikan, dirahasiakan. Jadi, Truna pingitan adalah laki-laki yang mensucikan atau dirahasiakan di dalam area pura untuk mengemban ratu hyang pingit dalam upacara dewaa yadnya.
2.      Upacara Dewa Yajnya
   Kamus istilah Agama Hindu ( 2005 ) kata upacara adalah rangkaian tindakan dalam kegiatan ritual.Swarsi (2004) upacara (upacara tradisional) dibali merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan antara tatwa/filsafat,yaitu merupakan tujuan daripada ajaran agama hindu; serta susila, yaitu aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan.
  Upacara tradisional merupakan suatu cara umat untuk menyatakan rasa bhaktinya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kepada Leluhurnya, kepada para Rsi, para dewamaupun terhadap sesamanya. Upacara sebagai fenomena agama dan kebudayaan yang kaya dengan lambing-lambang, pada hakekatnya berfungsi sebagai sarana sosialisasi bagi pendukung upacara tersebut.
Upacara keagamaan yang bersifat religius yang merupakan usaha yang bertujuan untuk mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk halus lainya yang mendiami alam gaib. Sistem religius ini dilaksanakan  dan melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam suatu sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud dari tingkah laku dari suatu religi. Seluruh sistem upacara terdiri dari beraneka macam upacara yang bersifat harian, musiman atau kadangkala. Masing-masing upacara terdiri dari kombinasi berbagai macam unsur seperti : berdoa, bersaji (maturan), berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi (makidung), berprosesi, berseni sakral (drama suci), berpuasa, bertapa, bersemadi dan sebagainya. Tata urutan dari acara-acara tersebut adalah sudah merupakan buatan manusia sejak zaman dahulu kala, dan merupakan ciptaan akal manusia.
Beberapa sumber mengatakan Upacara merupakan kegiatan manusia untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi. Upacara juga merupakan bagian dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu selain Tattwa dan Etika. Dalam hal ini upacara adalah cara-cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Hyang Widhi serta manifestasi-Nya. Sebuah sumber menyatakan upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Pendapat lain tentang upacara juga disampaikan bahwa upacara merupakan wujud nyata realisasi atau aktivitas-aktivitas agama.
Secara etimologi, upacara berasal dari bahasa Sansekerta yakni dari kata Upa dan Cara. Upa memiliki arti sekeliling atau menunjuk segala, Cara berarti gerak atau aktivitas sekeliling kehidupan umat manusia atau aktivitas umat manusia dala upaya dan usaha menghubungkan diri dan menyatu dengan Hyang Widhi. Jadi dapat ditegaskan bahwa upacara merupakan bagian dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, dan upacara merupakan salah satu wujud nyata aktivitas manusia untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi, Upacara Dalam Agama Hindu
Upacara dalam agama Hindu dilihat dari fungsinya merupakan alat yang membantu umat Hindu dalam mengadakan konsentrasi pikiran atau pemusatan pikiran. Dan juga merupakan sarana bagi umat Hindu di dalam mengadakan hubungan dengan Hyang Widhi. Senada dengan hal di atas, dalam buku Sarasamuscaya disebutkan :
Dari sudut filsafat upacara, agama ialah melakukan hubungan antara atma dengan paramaatma, antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, serta semua manifestasinya dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk upacara itu dipakailah upacara sebagai alat memudahkan manusia dalam menghubungkan dirinya dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam bentuk yang nyata..

         Upacara adalah salah satu cara yang dilakukan oleh umat Hindu untuk menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi. Cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri ada yang sederhana dan nyata. Upacara adalah salah satu pelaksanaan dari yadnya. Dalam melaksanakan suatu upacara digunakan sarana yang disebut upakara.
           Pelaksanaan Upacara dilakukan berulang untuk sebagian atau keseluruhannya dalam suasana religius lahir dan bathin. Sehingga upacara merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin diabaikan begitu saja.
Upacara pada dasarnya adalah pemberian yang tulus ikhlas untuk kepentingan bersama, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunitasnya dengan Tuhan.
Upacara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam ajaran agama hindu. Setiap kegiatan atau aktivitas keagamaan hindu selalu diikuti dengan upacara agama, sebab upacara merupakan ekspresi atau bentuk luar ajaran agama hindu. Terdapat bermacam-macam wujud upacara agama hindu,dari sarana yang sangat sederhana seperti selembar daun, sekuntum bunga, sebiji buah sampai pula upacara yang besar yang sarananya cukup banyak dan kadang-kadang sangat sulit dicari oleh seseorang. Makna suatu upacara tidak dapat dipisahkan dengan yajna dan samkara. (titib 1994:5)
Menurut Wijayananda (2005:49) Upacara merupakan, kata upacara berakar dari dua suku kata, yaitu; Upa dan Cara. Upa artinya dekat atau mendekat dan cara berakar dari urutan kata “Car” yang memiliki arti harmonis, seimbang, selaras. Upacara memiliki arti dan makna. Dengan keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan dalam diri, kita mendekatkan diri dengan Tuhan Yang maha Esa. Sebelumnya kita ingin mendekatkan diri kepada-nya, hendaknya terlebih dahulu kita dapat menciptakan keseimbangan dan keselarasan serta keharmonisan dalam diri kita, agar dapat terwujudnya keharmonisan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karena kesempurnaan seseorang di dalam menjalankan ajran-ajaran Agamanya, bukanlah dinilai dari seringnya di sembahyang atau mempersembahkan upacara atau upakara yang menegah dan meriah saja. Melainkan ketaqwaan seseorang di dalam beragama di nilai sejauh mana mereka dapat merubah sikap, mental dan prilakunya sehari-hari menuju kebajikan-kebajikan sesuai dengan kaidah ajaran-ajaran agamanya. Dan dapat secara nyata di aktualisaikan dan di visualisaikan dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat.
      Istilah Dewa sering dipergunakan didepan sebutan Pitara atau Resi misalnya: Dewa Pitara, Dewa Resi yaitu Roh Leluhur atau Resi yang telah suci dan setingkat dengan Dewa, tetapi beliau tidak sama dengan Dewa. Bila diperhatikan pelaksanaan Panca yadnya di Bali kebanyakan dalam bentuk upacara dan upakara sehingga yang menonjol disini adalah karma-marga terselubung  didalam upacara dan upakara itu sendiri.

      Ditinjau dari arti kata, “ dewa” berasal dari bahasa sansekerta urat “div”, artinya sinar atau cahaya. Dewa-dewa tidak sama dengan Tuhan melainkan adalah ciptaan-Nya yang memiliki sifat karma/kerja mengendalikan alam semesta ini sebagaimana disebutkan didalam Manawa Dharmasastra
Karmatmanam ca dewanam so’ srjatpraninam prabhuh
Sadhyanam ca gunam suksmam
Yajnam caiwa sanatanam ( I.22)

Artinya :
IA, Tuhan ( Prabhu ) ciptaan tingkat Dewa yang memiliki Prana (hidup) dan mempunyai sifat karma (kerja); Demikian pula sifat badan halus dan tingkat-tingkat dari Sadhya beserta jenis yadnya yang abadi.
      Dewa-dewa memiliki ciri-ciri serta menguasai  satu aspek tertentu yang berhubungan dengan keajaiban-keajaiban alam semesta,dapat lahir dan menampakkan diri dalam wujud yang dikehendaki. Dengan demikian maka yadnya kehadapan para Dewa berarti pula yadnya kehadapan ida Sang Hyang Widhi Wasa ( Tuhan ) sebab beliau sebagai sumber yang mengadakan serta memancarkan sinar mengatur alam semesta ini.
      Dewa yajna adalah persembahan yang tulus  ikhlas kepada Sang Hyang Widhi sebagai pernyataan rasa terima kasih atas anugrah-Nya memberikan hidup dan kehidupan kepada umat manusia. Yajna ini diwujudkan dalaam upacara-upacara keagamaan yang ditunjukkan kepada-Nya. Dalam pengertian ini, termasuk pula membangun serta memelihara tempat suci keagamaan seperti :  pura, merajan, sanggah, mandir, candi dan lain-lannya.(titib 1994 : 9-10)
                Dewa Yajnya adalah korban suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para Dewa agar manusia senantiasa mendapat lindunganNya. Dapat dikatakan juga bahwa kebanyakan dari korban suci tersebut berbentuk bebanten (sesajen) dalam wujud upakara. Rsi Yajnya adalah korban suci tulus ikhlas yang bertujuan menyucikan manusia secara lahir batin untuk menjadi sulinggih. Pitra Yajnya adalah korban suci yang tulus ikhlas ditujukan kepada para leluhur agar beliau melindungi segenap keturunannya demi keselamatan bersama. Manusa Yajnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia mulai dari terbentuknya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia. Bhuta yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya dan memelihara serta memberi penyupatan kepada para bhutakala dan mahluk-mahluk yang dianggap rendah dari manusia, seperti jin, peri, setan, binatang dan sebagainya. Tujuan pembersihannya adalah menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada pada mahluk-mahluk itu dan pembersihan pada alam akibat pengaruh negatif dari mahluk tersebut. Dengan melakukan upacara bhuta yadnya maka sifat-sifat kebaikan dan kekutan dari mahluk itu dapat berguna bagi kesejahteraan manusia. Dalam bhuta yadnya , juga terkandung pengertian usaha penyupatan terhadap mahluk-mahluk rendah, sehingga mereka menjadi mahluk yang dinaikkan derajatnya untuk menjalani karmanya.
            Jadi upacara dewa yajna adalah korban suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para Dewa agar manusia senantiasa mendapat lindunganNya. Dapat dikatakan juga bahwa kebanyakan dari korban suci tersebut berbentuk bebanten (sesajen) dalam wujud upakara.
3. Nilai Pendidikan Agama
Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan pembangunan, karenan itu pendidikan agama harus dilaksanakan secara intensif mulai dari keluarga, sekolah dan di masyarakat. Pendidikan agama tidak hanya sekedar mengisi atau memindahkan pengetahuan agama yang dianutnya semata-mata tetapi lebih jauh dari itu adalah untuk meningkatkan ketaqwaan dan dharma bhakti umatnya.
PHDI(2003 : 23-24). Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV (2003, 23-24). Pengertian Pendidikan Agama Hindu di bedakan menjadi dua yaitu:
1)             Pendidikan Agama Hindu di luar sekolah yaitu suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa masyarakat dengan ajaran agama itu sendiri sebagai pokok materi.
2)             Pendidikan agama Hindu di sekolah yaitu suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu. Adapun tujuan pendidikan agama hindu dijelaskan dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu:
1.             Tujuan pendidikan agama Hindu di luar sekolah
1)             Menanamkan ajaran agama hindu itu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan umat dalam semua perikehidupan.
2)             Ajaran agam hindu mengarahkan pertumbuhan tata kemasyarakatan Umat Hindu sehingga serasi dengan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia.
3)             Menyerasikan dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran agama hindu dalam masyarakat antara tattwa, susila dan acara.
4)             Untuk mengembangkan hidup rukun antara umat beragama.
2.             Tujuan pendidikan agama hindu di dalam sekolah
1)             Membentuk manusia pancasila yang asti bhakti kerpada ida sang hyang widhi wasa.
2)             Membentuk moral etika dan spiritual anak didik yang semua dengan ajaran agama hindu.
Pendidikan agama tidak hanya sekedar mengisi atau memindahkan pengetahuan agama yang dimuatnya, tetapi lebih jauh dari pada itu adlah untuk meningkatkan asti bhakti (ketaqwaan) dahn dharma bhakti umatnya. Ketaqwaan seseorang dimulai dari sikap perilaku yang tampak dalam kehidupan seharihari sebagai pemahaman pada pendidikan agama yang diyakini. Luas atau sempetnya tingkat keyakinan orang itu akan masih perlu dikaji dari pengetahuan yang dimiliki orang yang bersangkutan.
Pendidikan agama hindu itu materinya sangat luas bila dikaji secara mendalam mulai dari tattwa (filsafat), susila (etika), sampai pada upacara (ritual) dan lain sebagainya. Belajar agama tidak akan habis-habisnya seperti yang digambarkan Sang Hyang Aji Saraswati berupa lambing Genitri, yang terus berputas sehingga sulit menemukan ujung pangkalnya. Jika penertian pendidikan agama hindu ini digunakan untuk meninjau tentang Sakralisasi Gong Kedencong maka akan diperoleh suatu sistem berdasarkan proses Sakralisasi Gong Kedencong itu sendiri, bahwa proses gong kedencong ini mengajarkan umatnya untuk taat terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam melaksanakan tata upacara atau proses sakralisasi Gong Kedencong itu sendiri dengan nilai-nilai yang terdapat didalam pelaksanaannya.
Secara garis besar nilai merupakan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu masalah atau gejala yang terjadi dilingkungan masyarakat. Dalam setiap pelaksanaan ajaran agama hindu mengandung nilai-nilai pendidikan di dalamnya, karena segala aktivitas agama bukanlah sekedar ritual semata. sebagaimana pernyataan Sudharta (2006: 5). Nilai-nilai pendidikan agama hindu terdiri dari Tattwa  (Filsafat), Susila (etika) dan Upacara (ritual).
Pelaksanaa Gong Kedencong merupakan salah satu upacara yang sakral, terkandung nilai-nilai pendidikan agama Hindu di dalam kesakralan gong kedencong yaitu (1) Nilai Pendidikan Tattwa, (2) Nilai Pendidikan Susila dan (3) Nilai Pendidikan Acara.                    
H.             TEORI
Setiap metode ataupun pendekatan selalu didasari oleh pemikiran ataupun teori-teori yang digunakan sebagai pijakan berpikir. Teori merupakan salah satu alat terpenting dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan Basri (2006 : 26-27), tanpa teori tidak ada ilmu pengetahuan. Yang ada hanya kumpulan data, bukti, bahkan dongeng yang tidak punya rujukan kuat. Dalam bahasa Yunani Theoria, mempunyai arti diantaranya “kaidah yang mendasari suatu gejala yang sudah melalui verifikasi”.
Teori juga berarti rangakaian yang logis dari suatu proposisi atau lebih; ia merupakan informasi ilmiah yang diperoleh dengan meningkatkan abstraksi, pengertian-pengertian maupun hubungan pada proposisi. Landasan teori di sini merupakan teori-teori yang dijadikan alat atau landasan untuk membantu menjawab permasalahan yang dikaji.Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Intraksionisme Simbolik, teori religi,teori nilai
1.      Teori Religi
Robertson Smith (1846-1894) adalah seorang teolog, ahli ilmu pasti, ahli bahasa dan ksusastraan semit. Karena keahlian itu, ia menjadi guru besar di bidang bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas Cambriidge. Teori yang dikemukakan Robertson adalah “upacara Bersaji”. Teori ini tidak didasarkan pada sistem keyakianan atau dokterin religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Teorinya terungkap dalam buku Lectures on Religion of the Semites(1889).
             Ada tiga gagasan mengenai asas-asa yang dikemukakan Robertson, yakni: (1) Bahwa disamping sistem keyakinan dan dokterin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari agama yang memerlukan studi atau analisa yang khusus. Menurutnya, yang menarik dari aspek ini adalah bahwa sekalipun latar belakang, keyakinan, atau dokterinya berubah, namun hampir semua agama upacaranya itu tetap. (2) Bahwa upacara religi atau Agama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Mereka melakukan upacara agama, tidak semata-mata untuk menjalankan kewajiban agama atau tuhannya, tetapi mereka melakukannya sebagai kewajiban sosial. (3) Bahwa fungsi upacara bersaji dimana manusia menyajikan sebagai dari seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa, dan sebagainya lagi untuk dimakannya sendiri merupakan suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas terhadap dewa. Dalam hal ini, dewa pun dipandang sebagai bagian dari komunitasnya. Itulah sebabnya, upacara-upacara bersaji yang terdapat pada suku-suku bangsa arab tampak bukan merupakan upacara yang khidmat, tetapi sebagai suatu upacara yang gembira dan meriah, tetapi keramat.
Teori ini digunakan sebagai landasan untuk membahas rumusan masalah yaitu prosesi penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng
2.  Teori Intraksionisme Simbolik
Menurut Mead interaksi sosial mencakup pemahaman timbal balik dan panafsiran syarat-syarat dan percakapan, hal ini merupakan kunci dari masyarakat manusia. Struktur sosial peran dan institusi mempengaruhi tingkah laku individu, hanya melalui makna bersama yang terungkap dalam simbol kelompok dan cara simbol-simbol ini ditafsirkan dalam pertukaran diantara individu-individu(Mead dalam Camphell,2001:253).
Selanjutnya Mead juga mengungkapkan bahwa interaksi simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol yang terpenting dan melalui syarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang kontinu. Proses penyampaian makna inilah yang merupakan subjek materi dari sejumlah analisa kaum intraksinis simbol(Poloma,2003:257-258). Pandangan lain menyatakan bahwa intrasionisme simbolis bertumpu pada tiga hal yaitu. (1) Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka, (2) Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia, dan (3) Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses penafsiran yang dipergunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapinya(Craib,1986:109-112).
Selanjutnya dikemukakan bahwa minimal ada empat peringkat simbol yaitu. (1) Simbol konstruksi yang bersifat kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama, (2) Simbol evaluasi penilaian moral yang sarat dengan nilai, norma dan aturan, (3) Simbol kognisi berupa pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang reallitas dan keteraturan agar manusia lebih memahami lingkungannya dan (4) Simbol ekspresi berupa pengungkapan perasaan(Triguna,2000:35).
Teori ini digunakan sebagai landasan untuk membahas rumusan masalah yaitu makna dari penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng
3.Teori Nilai
Nilai adalah hal-hal yang dijunjung tinggi, yang menjadi dasar perilaku. Norma adalah pagar dari perilaku agar perilaku menghormati dan menjunjung tinggi nilai (Artadi, 2009: 206). Nilai adalah tataran abstrak, perilaku adalah tataran konkret. Nilai sesuatu yang dijunjung tinggi menjadi nyata dalam menyimpang perilaku. Jadi nilai adalah dasar perilaku, dalam artian bahwa seseorang menjunjung tinggi nilai-nilai tertentu tampak nyata dalam perilakunya.
Teori nilai merupakan nama bersama aksiologi, untuk bidang filsafat, yang menyelidiki hakekat nilai dan evaluasi (perkiraan, pandangan, tentang nilai). Pada umumnya, teori-teori nilai dapat dibagi ke dalam teori yang menggabungkan nilai dengan “minat” atau “kepentingan” dan mengendalikan nilai-nilai mempunyai segi obyektif dan dikenal oleh intuisi (Artadi, 2009: 152).
Kontjaraningrat dalam Swastika (2013: 33) menjabarkan nilai adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan. Konsepsi-konsepsi serupa itu biasanya luas dan kabur. Justru karena kabur dan irasional biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Menurur Louis Kattsof dalam bukunya Element of Phylosophy menyimpulkan bahwa nilai mempunyai 4 macam arti antara lain: 1) bernilai artinya berguna; 2) Merupakan nilai artinya baik dan benar atau indah; 3) Mengandung nilai artinya merupakan objek atau keinginan atau sifat yang menimbulkan sikap setuju; 4) Memberi nilai artinya memutuskan bahwa sesuatu itu diinginkan atau merupakan nilai (Swastika, 2013: 33-34).
Jadi sesuatu yang memiliki nilai tidak hanya yang berwujud material atau benda saja, tetapi juga benda yang tidak berwujud. Yang berwujud material penilaiannya lebih mudah dilakukan dengan menggunakan alat ukur seperti: pengukuran berat (kg), panjang (km), dan isi (m3), sedangkan nilai-nilai kerohanian tidak dapat diukur dengan alat-alat tersebut di atas.
Nilai kerohanian hanya dapat dinilai dengan menggunakan hati nurani yang ditimbulkan oleh indra-indra, akal, perasaan dan  pikiran (keyakinan). Bagi manusia, nilai merupakan suatu alat untuk memotivasi di segala bidang kehidupan. Hal ini dapat kita lihat pada kenyataan manusia yang lain berbuat lain dari nilai-nilai manusia yang lain karena alasan yang lain pula. Nilai-nilai ini termuat dalam Tri Kerangka Dasar ajaran Agama Hindu yang mempunyai tiga dasar pokok yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Tiga kerangka itu terdiri dari : (1) Tattwa (filsafat), merupakan ajaran abadi dan merupakan inti masalah agama yang paling utama. (2) Susila, yang berkaitan dengan dharma, didasari oleh inti pokok ajaran “tattwa”. Dan (3) Upacara (ritual), merupakan bentuk yajnya dalam rangkaian panca yajnya karena manusia lahir membawa hutang kelahiran.
Terkait dengan penelitian yang dilaksanakan, teori nilai digunakan untuk membedah permasalahan yang ketiga yaitu mengenai “nilai-nilai pendidikan agama yang terdapat dalam penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng”.
I. Metode penelitian
                Metode Penelitian adalah suatu cara untuk menemukan kembali suatu kebenaran (Dohriri,dkk,2001:53). Metode penelitian merupakan jalan yang harus dilalui dalam mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah. Metode merupakan suatu cara atau strategi kerja yang digunakan untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu bersangkutan. Keberadaan metode dalam bidang keilmuan sangat diperlukan, mengingat metode merupakan media untuk memahami realitas, fenomena dan langkah sistematis sehubungan dengan tindakan atau upaya ilmiah.
Penelitian yang akan dilaksanakan ini menggunakan beberapa metode yang akan di gunakan dalam penunjang proses penelitian atau jalannya penelitian, mulai dari persiapan, pelaksaan sampai  penelitian berakhir dan menghasilkan suatu yang diakui kebenarannya. penelitian seharusnya menggunakan metode relevan, serasi, dan sesuai dengan kemampuan peneliti. Adapun yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lokasi Penelitian
Adapun yang dijadikan sebagai lokasi dalam penelitian ini adalah di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng. Adapun alasan penelitian memilih lokasi ini adalah karena keunikan adanya penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yadnya, dimana secara umum tidak ditemukan adanya upacara ini ditempat lain atau didaerah lain.
2.Jenis dan pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah jenis penelitian Ex Post Facto. Penelitian Ex Post Facto menurut Redana (2004:122) dinyatakan bahwa penelitian ini dilakukan sesudah perbedaan-perbedaan dalam variabel bebas itu terjadi karena perkembangan alami. Penelitian Ex Post Facto menurut Kerlingger dalam Redana (2004:122) dinyatakan sebagai penelitian empiris yang sistematis dimana ilmuan tidak mengendalikan variabel bebas secara langsung karena perwujudan variabel tersebut terjadi, atau karena variabel tersebut pada dasarnya tidak dapat dimanipulasi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan Ex Post Facto, Pendekatan Psikologi dan Pendekatan Hermeneutika. Pendekatan Ex Post Facto adalah cara pendekatan yang digunakan mengkaji fenomena yang telah terjadi secara wajar secara alamiah. Pendekatan Psikologi merupakan studi mengenai aspek psikologis dari perilaku beragama, baik sebagai individu maupun secara berkelompok atau anggota dari suatu kelompok (aspek psikologis).
Penelitian yang dilakukan ini dapat digolongkan kedalam jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan pada kondisi objek yang alami, peneliti sebagai instrumen kunci untuk mengkaji penggunaan truna pingitan dalam upacara di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
3.  Jenis Data dan Sumber Data
Data merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, anggapan yang dianalisis sebelum digunakan sesuai dengan jenis penelitian. Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
a. . Data Primer
            Menurut Bungin (2001:128) “ data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer (sumber pertama) di lapangan”. Di jelaskan pula oleh Sugiyono (2006: 15) bahwa “ sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data”. Sedangkan menurut Iqbal (2006:16) data primer disebut data asli. Data primer adalah data yang dalam perolehannya atau pengumpulannya didapat langsung dari lapangan.
            Data asli dalam penelitian ini dikumpulkan sesuai dengan realitas yang ada dilapangan, serta berdasarkan atas keterangan dari informan yang diambil dengan menggunakan teknik tertentu, dan bersifat deskriptif.
b.  Data Sekunder
            Data Sekunder menurut Sedarmayanti (2002:179) adalah data yang diperoleh dari sumber lain yang telah ada, seperti: dokumen, lontar-lontar dan buku-buku sebagai penunjang yang isinya berkaitan dengan topik penelitian. Data sekunder dijelaskan Bungin (2001:128) adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sekunder. Sedangkan menurut Sugiyono (2006:153) data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.
            Data sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku, artikel, dan karya ilmiah penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan permasalahan. Adapun data-data yang dikutip dari data sekunder adalah tentang gambaran umum lokasi penelitian, teori-teori, metode, tinjauan pustaka serta konsep-konsep yang terkait
4. Objek dan Subjek Penelitian
Melakukan suatu penelitian yang bersifat akademis, maka sudah tentu harus ditentukan objek penelitiannya. Untuk mencapai suatu penelitian dimaksud, disamping menentukan objek penelitian juga harus menentukan subyek penelitian sebagai sumber pendukung.


a.  Objek Penelitian
            Objek penelitian adalah setiap gejala atau peristiwa yang akan diteliti, apakah itu gejala alam (natural fenomena) maupun gejala kehidupan (efek fenomena).  (Arikunto, 2006 : 118). Dalam penelitian ini yang merupakan objek penelitian adalah orang-orang yang menjadi truna pingitan di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.
b.  Subjek Penelitian
            Menurut Azwar (2001:34) subjek penelitian adalah sumber utama dari penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti. Melengkapi pengertian tersebut di jelaskan sebagai berikut: Untuk memperoleh data yang valid, maka perlu ada pendekatan subjek yang diteliti. Ada dua metode pendekatan subjek penelitian yaitu : metode emperis dan eksperimen (Margono, 2007:155)
Penelitian ini hanya mengunakan metode emperis. Metode emperis adalah suatu cara pendekatan subjek dengan sifat datanya telah ada secara wajar. Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan yang melakukan pernah menjadi Truna pingitan di Desa Kubutambahan Kecamatan kubutambahan Kabupaten Buleleng.
5.  Teknik Penentuan Informan
Menururt Arikunto (2007:145) bahwa “ informan adalah orang yang memberikan informasi “. Pendapat lain menjelaskan sebagai berikut :
            Tiap penelitian memerlukan sejumlah orang yang harus diselidiki. Secara ideal harus diselidiki keseluruhan populasi berjumlah besar diambil sejumlah sampel secara representatif, yang mewakili keseluruhan populasi itu. Untuk meneliti penyebaran informasi tertentu di kalangan kelompok akan lebih sesuai menggunakan teknik purposive sampling, karena dalam kenyataan masyarakat Hindu tidak semua mengetahui gejala yang ada di lapangan, manfaatnya adalah untuk menghindari salah interprestasi terhadap gejala yang ada. Menurut Puttnam dalam mengindentifikasi subjek penelitian dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu: (1) pendekatan posisional/ positional approach; (2) pendekatan reputasional/reputaional; dan (3) pendekatan pengambilan keputusan / decisional approach (Nasution, 2004: 86-99).

            Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan melihat syarat yang diajukan sesuai dengan syarat keilmiahan informan yakni memiliki pemahaman keagamaan yang terkait tentang pelaksanaan penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yajnya di Desa  Kubutambahan  Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng, kemudian memilki tingkat kedewasaan cara berpikir, demikian juga melihat umur dan jabatan dalam masyarakat. Dengan demikian informan penelitian ini terdiri dari Teruna, Pemangku, Serati, dan tokoh masyarakat Hindu di Desa kubutambahan Kecamatan Kubutambahan  Kabupaten Buleleng.
6.  Teknik Pengumpulan Data
            Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Suatu teknik atau cara untuk mendapatkan keterangan secara benar dan nyata diperlukan dalam penyusunan sebuah karya ilmiah. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lazimnya menggunakan obeservasi dan wawancara atau dengan menggunakan sumber lain seperti catatan-catatan kepustakaan.
Mendukung jalannya penelitian,ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan instrumen (alat bantu) penelitian yang sebagai sarana yang dapat diwujudkan dalam benda. Misalnya berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan, persiapankan sumber-sumber data seperti buku-buku, arsip tentang pelaksanaan penggunaan truna pingitan dalam upacara dewa yajnya di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan mencakup:
1.      Teknik Observasi
Observasi adalah cara pengumpulan data yang dilaksanakan melalui pengamatan panca indra dan disertai pencatatan secara sistematis. Teknik Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik observasi tidak langsung. Teknik Observasi tidak langsung adalah observasi atau pengamatan yang dilakukan secara tidak langsung pada objek yang diteliti melainkan pengamatan yang dilaksanakan pada media atau alat bantu observasi seperti vidio, dokumentasi dll. Bachtiar (dalam Redana, 2004:272) dinyatakan alat bantu yang diperlukan dalam pengamatan diantaranya: alat pemotretan, kamera, juga alat perekam audio visual. Narbuko dan Achmadi (2006 : 73) menyatakan alat-alat observasi pada dasarnya ada lima yaitu: anecdotal record, catatan berkala, chek lists, rating scale, dan mechanical devices.


2.Teknik Wawancara
         Wawancara merupakan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara tatap muka antara intervierwer (orang yang menginterview) dengan informan (orang yang diinterview) atau tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu (Setya, 1983:37). Tujuan yang ingin dicapai dari tekhnik ini adalah memperoleh data yang obyektif dan relevan sesuai maksud dan tujuan dari penyelidikan tersebut. Peneliti dalam melaksanakan wawancara harus menggunakan alat bantu wawancara sebagai landasan di dalam melaksanakan wawancara dengan informan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan interview guide atau pedoman wawancara dan recording supaya informan lebih mudah dalam menganalis data yang telah diperoleh melalui wawancara dengan informan
3.      Teknik Studi Kepustakaan
Metode studi kepustakaan adalah sebuah penelitian yang menggunakan pustaka sebagai sumber data dan perpustakaan sebagai lokasi penelitian. Metode perspektif kepustakaan merupakan metode yang digunakan dalam mengkaji bahan pustaka yang langsung memberikan informasi secara tersurat maupun tersirat yang berupa sumber bacaan, buku-buku refrensi  atau hasil penelitian ilmiah lainnya yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang diangkat (Hasan, 2002:80).
Dalam karya ilmiah ini, peneliti menggunakan metode kepustakaan yaitu cara mengumpulkan data melalui sumber-sumber pustaka berupa buku-buku dan karya ilmiah yang sudah dikaji secara ilmiah dan berkaitan dengan permasalan penelitian karya ilmiah ini seperti buku tentang metodologi penelitian, kitab suci Agama Hindu, buku tentang upacara agama serta buku yang lain yang relevan dengan karya ilmiah ini. Pustaka-pustaka yang dimaksud untuk menunjang dan memperkaya dalam mengembangkan konsep, teori dan analisis penelitian.
1.      Teknik Analisis Data
Tahapan analisis data adalah salah satu tahapan kunci dalam penelitian. Tahap ini baru bisa dilakukan setelah semua data terkumpul. Masalah yang tidak kalah penting dari apa yang sudah diperoleh dari hasil penelitian adalah pengelolahan data. Dalam penelitian kualitatif, analisis data telah dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan atau mulai dari persiapan sebuah penelitian sampai akhir sebuah penelitian. Artinya, analisis data telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung secara berkelanjutan sampai akhir penulisan sebuah penelitian. Menganalisis data dalam penelitian kualitatif lebih difokuskan selama proses di lapangan bersama dengan pengumpulan data (Sugiyono, 2006:275).
Miles dan Huberman dalam (Basrowi dan Suwandi, 2008: 209) dinyatakan bahwa analisis data kualitatif  dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Teknik analisis yang dilakukan mencakup tiga kegiatan yang bersamaan: (1) reduksi data (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan (verifiksi).





DAFTAR PUSTAKA
Artadi,ketut,2009. Kebudayaan spiritualitas (nilai makna dan martabat kebudayaan) dimensi tubuh akal roh dan jiwa.denpasar:pustaka bali post
…………………, kebudayaan spiritual.denpasar.pustaka bali post
Bangli,I. B., 2004. Mutiara dalam budaya hindu Bali (pedoman guide ).surabaya: paramita
Dinas pendidikan, 1991. Kamus Bali-indonesia
Geriya,swarsi, 2004.upacara bayi dalam kandungan (sampai bayi umur 1 bulan 7 hari ). Surabaya: paramita
Kuntjara, esther,2006. Penelitian kebudayaan.yogyakarta:Graha Ilmu
Pandita, Ida dan Wijayanda, mpu Jaya,2005. Tatanan upakara lan upacara manusa yajna. Surabaya: paramita
Putra, mas,1985.Upacara Dewa Yadya. Denpasar.
Soelaeman,munandar,2001.ilmu social dasar (teori dan konsep ilmu social).bandung:Aditama
Sudharta,tjok raid an atmaja, oka punia, 2005. Upadesa : tentang ajaran-ajaran agama hindu. Surabaya: paramita
Tim penyusun,2010. Widya paramitha: agama hindu. Surabaya : paramita
Tim penyusun,2005. Kamus istilah agama hindu
Titib,I Made,1997. Pedoman upacara Suddhi wadani.denpasar: upadesa sastra
Triguna, Yuda I B. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma
Wirawan,I.B., 2012. Teori-teori social dalam tiga paradigm (fakta social,definisi social, dan perilaku social ).jakarta : PT Fajar Interpratama Mandiri