Selasa, 10 Desember 2013

panca yajna : manusa Yajna

ACARA AGAMA HINDU II PANCA YAJNA : MANUSA YAJNA Dosen Pengampu: I Ketut Indrayasa,M,Pd.H OLEH: Nama : Kadek Handara Nim : 10.1.1.1.1 3830 Kls/Smstr : PAH A/ V FAKULTAS DHARMA ACARYA JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR 2013 Kata Pengantar Om Swastyastu Segala puja dan puji ku panjatkan kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa berkat Asung Kertha Wara Nugraha-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Acara agama Hindu II. Dalam hal ini tugas yang diberikan adalah mengenai suatu upacara panca yajna dimana dalam sikup upacara yang terdapat diBali sangatlah luas tidak hanya upacara untuk Tuhan maupun para Dewa melainkan untuk manusia dan para Bhuta juga ada upacaranya, didalam makalah ini hanya akan dipaparkan upacara untuk manusia saja yaitu Upacara Manusa yajna dengan Sub materi “Upacara Potong Gigi ( Munggah Dehe) Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua dan teman-teman, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pengajar meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah penulis di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Daftar Isi Judul…………………………………………………………………………………………….i Kata Pengantar………………………………………………………………………………….ii Daftar isi………………………………………………………………………………………..iii I. Pendahuluan……………………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………………..2 1.2 Rumusan masalah………………………………………………………………………..2 1.3 Manfaat ………………………………………………………………………………….2 1.4 Tujuan……………………………………………………………………………………3 II Pembahasan…………………………………………………………………………….4 2.1 Pengertian Panca Yajna…………………………………………………………………….4 2.2 Upacara Manusa Yajna……………………………………………………………………..10 2.3 Mytologi Upacara Potong Gigi……………………………………………………………..13 2.4 Tujuan Upacara Potong Gigi……………………………………………………………….15 2.5 Upakara dan Pelaksanaan Upacara Potong Gigi …………………………………………..17 III Penutup 3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………21 3.2 Saran……………………………………………………………………………………….22 Daftar Pustaka I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Dalam hal ini agama Hindu adalah agama yang tertua di Indonesia dan dalam agama Hindu banyak keragaman yang ada akan tetapi keragaman itu memiliki satu tujuan yang sama dengan yang lain yaitu Tuhan, didalam agama hindu memikili tiga kerangka yang sering disebut dengan Tiga kerangka Agama Hindu dalam hal ini tiga kerangka agama hindu ini tidak bisa terpisahkan ibarat seperti sebutir telur, didalam kerangka agama hindu ini terdapat yang pertama Tattwa dimana didalam tattwa ini menjelaskan tentang materi-materi ataupun filsafat tentang Tuhan yang kedua Susila atau bisa juga disebut dengan Etika dalam hal ini dijelaskan bagaimana tingkah laku kita sebagai umat manusia kepada Tuhan Manusia maupun dengan binatang ( Tri Hita karana ) dan kerangka yang terakhir ialah Riitual atau Upacara dalam kerangka terakhir ini dijelakan tetntang upacara-upacara yang ada didalam Agama Hindu di Ritual ini banyak juga dijelaskan sarana dan prasarana yang digunakan dalam melakukan suatu upacara. Upacara yang terdapat di agama Hindu sangatlah banyak tidak hanya untuk Tuhan saja ,disini upacara untuk manusia juga ada, upacara yang khusus manusia ialah Upacara Manusa yajna disini banyak tardapat suatu upacara mulai dari Bayi dalam kandungan sampai dengan perkawinan atau pawiwahan. Upacara yajna adalah pelaksanaan suatu persembahan yang dilakukan oleh umat Hindu. Upacara yajna dibedakan menjadi lima didalam pustaka suci Manawadharmasastra adhyaya IV, sloka 21 dijelaskan : “Hendaknya jangan sampai lupa, jika mampu laksanakanlah rsi yajna,dewa yajna, bhuta yajna,manusa yajna, dan pitra yajna” ( dalam Subagiasta, 1993:116 ) Tidak hanya didalam Manawadharmasastra saja dijelaskan lima upacara yajna akan tetapa didalam Agastya parwa 35.b. juga dijelaskan : “ Adapun yang disebut Panca Yajna, perinciannya sebagai berikut : Dewa Yajna, Rsi Yajna, Pitra Yajna, Bhuta Yajna, Manusa Yajna. Demikianlah Panca Yajna di dalam masyarakat ( ibid, 1993: 116) Disini hanya salah satu dari panca yajna yang akan dijelaskan yaitu uapcara Manusa Yajna saja upacara potong gigi atau, upacara manusa yajna adalah persembahan yang tulus ikhlas kepada sesama manusia. Persembahan terhadap sesame manusia sangat penting pula bagi umat Hindu. Upacara Manusa yajna bertujuan untuk penyucian, baik secara lahir dan bhatin. Juga bertujuan untuk peningkatan status menuju kesempurnaan, menghindari segala godaan yang mengganggu kehidupan manusia sehingga mencapai keluhuran dan kemuliaan hidup manusia. Upacara mepandes ( potong gigi ) upacara ini dapat disatukan dengan upacara munggah deha teruna, setelah natab byakala langsung ke upacara potong gigi serta dilanjutkan dengan upacara mapetik ( ngetep jenggot ). Maknanya adalah peringatan mulai dewasa dengan mengurangi sifat-sifat sad ripu seperti : loba, menipu, suka dipuji, , pearah, menyakiti, memfitnah dan lain-lain. 1.2 Rumusan Masalah Didalam penulisan makalah ini adapun rumusan masalah yang perlu dijawab,adapun rumusannya ialah 1. Apa yang disebut dengan panca yajna ? 2. Apa mytologi dari upacara potong gigi ? 3. Apa tujuan dari pelaksanaan upacara potong gigi ? 4. Bagaimana pelaksanaan dari upacara potong gigi tersebut ? 1.3 Manfaat Adapun manfaat yang kita dapat adalah 1. Kita bisa mengetahui tentang upacara manusa yanja beserta makna yang terkandung. 2. Kita juga bisa paham tentang upacara manusa yajna itu haruslah kita lakukan guna untuk mengurangi sifat-sifat sadripu yang ada pada diri kita. 3. Kita bisa mengetahui bagaimana mytologi tentang potong gigi tersebut 4. Kita juga bisa mengetahui bagaimana cara dan sarana prasarana yang digunakan dalam upacara manusa yajna dalam konteks upacara potong gigi 1.4 Tujuan Selain manfaat adapun tujuan yang hendak dicapi : Agar kita bisa memahami tentng upacara manusa yajna yang sangat penting dalam kehidupan kita khususnya bagi umat hindu dan juga kita haruslah melakukan hal tersebut tidak saja kita sekadar mengetahui akan tetapi kita juga melaksanakan upacara itu II Pembahasan 2.1 Pengertian Panca Yajna Panca Yadnya adalah lima macam korban suci dengan tulus ikhlas yang wajib dilakukan oleh umat Hindu. Pelaksanaan Panca yadnya adalah sebagai realisasi dalam melunasi kewajiban manusia yang hakiki yaitu Tri Rna ( tiga hutang hidup ). Dalam beberapa kitab dan pustaka memberikan penjelasan tentang Panca Yadnya yang berbeda, namun pada intinya memiliki kesatuan tujuan yang sama. Penjelasan-penjelasan tersebut antara lain : 1. Kitab Sathapata Brahmana. Kitab ini merupakan bagian dari Reg Weda, menjelaskan panca yadnya sebagai berikut : 1. Bhuta Yadnya, yaitu yadnya untuk para bhuta 2. Manusa Yadnya, yaitu persembahan makanan untuk sesama manusia. 3. Pitra Yadnya, yaitu persembahan yang ditujukan untuk leluhur ( disebut swadha). 4. Dewa Yadnya, yaitu persembahan kepada para dewa ( disebut swaha ). 5. Brahma yadnya, yaitu yang dilaksanakan dengan mempelajari pengucapan mantram cusi weda. 2. Kitab Manawa Dharmasastra Kitab Manawa Dharmasastra memberikan penjelasan tentang Panca Yadnya sebagai berikut : 1.Brahma Yadnya, adalah persembahan yang dilaksanakan dengan belajar dan mengajar secara tulus ikhlas. 2.Pitra Yadnya, adalah persembahan tarpana dan air kepada leluhur. 3.Dewa yadnya, adalah persembahan minyak dan susu kepada para dewa. 4.Bhuta Yadnya, adalah pelaksanaan upacara bali untuk butha. 5.Nara Yadnya , adalah penerimaan tamu dengan ramah-tamah. 3. Lontar Korawa Srama Dalam lontar Korawa Srama terdapat penjelasan Panca yadnya sebagai berikut: Dewa Yadnya, adalah persembahan dengan sesajen dan mengucapkan Sruti dan Stawa pada waktu bulan purnama. Rsi Yadnya, adalah persembahan punia, buah-buahan, makanan, dan barang yang tidak mudah rusak kepada para Maha Rsi. Manusa Yadnya adalah persembahan makanan kepada masyarakat. Pitra Yadnya adalah mempersembahkan puja dan banetn kepada leluhur. Bhuta Yadnya, adalah mempersembahkan puja dan banten kepada bhuta. 4. Lontar Agastya Parwa Penjelasan tentang Panca Yadnya dari lontar Agastya Parwa adalah yang menjadi acuan utama pelaksanaan yadnya di Indonesia. Menurut lontar ini Panca yadnya adalah : 1. Dewa Yadnya, yaitu persembahan dengan minyak dan biji-bijian kehadapan Dewa Siwa dan Dewa Agni di tempat pemujaan dewa. 2. Rsi Yadnya, yaitu persembahan dengan menghormati pendeta dan membaca kitab suci. 3. Pitra Yadnya, yaitu upacara kematian agar roh yang meninggal mencapai alam Siwa. 4. Bhuta Yadnya, yaitu persembahan dengan mensejahterakan tumbuhan dan menyelenggarakan upacara tawur serta upacara panca wali krama. 5. Manusa Yadnya, yaitu persembahan dengan memberi makanan kepada masyarakat. Dari beberapa sumber di atas yang lebih tepat digunakan sebagai dasar pelaksanaan yadnya di Indonesia adalah Lontas Agastya Parwa. Tetapi dalam konteks pengertian dan pelaksanaannya mengacu pada penjelasan-penjelasan Kitab Weda sehingga di Indonesia Panca Yadnya dapat dijelaskan sebagai berikut 1. Dewa Yadya, adalah persembahan yang tulus iklhas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. Dewa Yadnya dilaksanakan terutama dalam rangka memenuhi kewajiban Dewa Rna, yakni hutang hidup kepada Ida Sang Hyang Widhi. Pelaksanaan Dewa Yadnya dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Aktivitas kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan menjadi yadnya dengan cara melaksanakan semua aktivitas yang didasari oleh kesadaran, keikhlasan, penuh tanggung jawab dan menjadikan aktivitas tersebut sebagai persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana sabda Tuhan melalui Bahagawad Gita dalam beberapa sloka seperti : Yajòàathàt karmano ‘nyatra loko ‘yaý karma-bandhanah, Tad-artham karma kaunteya mukta-saògaá samàcara ( Bhagawad Gita, III.9 ) Artinya: Kecuali kerja yang dilakukan sebagai dan untuk tujuan pengorbanan, dunia ini terbelenggu oleh kegiatan kerja. Oleh karena itu, wahai putra Kunti ( Arjuna), lakukanlah kegiatanmu sebagai pengorbanan dan jangan terikat dengan hasilnya. Tasmàd asaktaá satataý kàryaý karmasamàcara, Asakto hy àcaran karma param àpnoti pùrsaá ( Bhagawad Gita, III.19 ) Artinya: Oleh karena itu, tanpa keterikatan, lakukanlah selalu kegiatan kerja yang harus dilakukan, karena dengan melakukan kerja tanpa pamrih seperti itu membuat manusia mencapai tingkatan tertinggi. Saktàá karmaóy awidwàmso yathà kurwanti bhæata, Kuryàd widwàýs tathàsaktaú cikìrûur loka-saògraham ( Bhagawad Gita, III.25 ) Artinya: Bhàrata Seperti orang bodoh yang bekerja karena pamrih dari kegiatannya, demikian pula hendaknya orang terpelajar bekerja, wahai ( Arjuna ), tetapi tanpa pamrih dan semata-mata dengan keinginan untuk memelihara kesejahteraan tatanan dunia ini saja. Selanjutnya jika kita beryadnya dalam bentuk dana/harta , atau beryadnya dalam bentuk jnana (pengetahuan), atau yadnya dalam bentuk tapa serta yadnya dalam bentuk persembahan/upakara haruslah dilakukan dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Jika semua yadnya yang dilaksanakan dengan tujuan sebagai persembahan kepada Tuhan maka jadilah yadnya tersebut Satwika. Dalam Kitab Suci Bhagawad Gita banyak dijelaskan berbagai bentuk yadnya yang Satwika. 2. Rsi Yadnya, adalah persembahan yang tulus ikhlas kepada para rsi dan orang suci. Pelaksanaan yadnya ini sebagai wujud terima kasih atas segala jasa yang telah diberikan oleh para rsi dan orang suci pada kita . Menurut Hindu atas jasa para rsi dan orang suci ini menyebabkan kita memiliki hutang yang disebut Rsi Rna. Contoh Rsi Yadnya yang berbentuk Upakara adalah Rsi Bojana. Sedangkan bentuk lain Rsi Yadnya adalah dengan melaksanakan ajaran-ajaran suci para rsi, hormat dan bakti serta melayani para sulinggih/ orang suci secara tulus ikhlas. Dalam melaksanakan upacara seharusnya sang yajamana menghaturkan punia daksina pada sulinggih/ pemuput karya yang sesuai, sebab jika tidak maka karma baik atas upacara yadnya yang dilaksanakan akan menjadi milik sang pemuput karya. 3. Pitra Yadnya, adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya. Di Bali Upacara Pitra Yadnya dikenal memiliki beberapa tingkatan seperti : a. Sawa Prateka, yakni upacara perawatan dan penyelesaian jenasah seperti dikubur ( mekingsan ring pertiwi ), dibakar ( mekingsan ring geni) dsb. b. Asti Wedana yaitu tingkatan upacara pitra yadnya yang lebih tinggi yang umumnya disebut NGABEN. Bentuk asti wedana adalah : 1. Sawa Wedana yaitu upacara ngaben bila yang dibakar adalah jenasah. Upacara ini dikenal juga dengan nama SWASTA. 2. Asti Wedana yaitu upacara pengabenan dengan membakar jenasah yang sudah berbentuk tulang ( sudah dikubur terlebih dahulu). 3. Ngerca Wedana yaitu upaca ngaben dengan membakar simbol sebagai pengganti tulang/jenasah orang yang sudah meninggal. Upacara ini biasanya dilakukan untuk orang yang waktu meninggal telah mekingsan ring geni, atau meninggal tetapi jenasahnya tidak ditemukan ( misalnya meninggal di laut atau di hutan ), atau juga jenasah yang dikubur tetapi tulangnya tidak ditemukan. c. Atma Wedana, yaitu upacara tingkat berikutnya yang bertujuan lebih menyempurnakan jiwatman yang telah diabenkan dari alam surga menuju alam dewa/moksa. Bentuk atma wedana antara lain, ngeroras, mukur, maligia. Disamping bentuk upacara pitra yadnya sebagaimana dijelaskan di atas yang lebih penting dilakukan masa kini adalah bagaimana usaha kita untuk menjunjung nama baik dan kehormatan leluhur dan orang tua. Jadi pitra yadnya dalam kaitan kewajiban sebagai siswa adalah dengan belajar sebaik-baiknya sebagaimana harapan orang tua. Melayani orang tua semasih hidup dengan ikhlas serta tidak mengecewakan dan menyakiti hati orang tua adalah merupakan pitra yadnya utama. 4. Manusa Yadnya, adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk kebahagiaan hidup manusia. Sesuai dengan pengertian tersebut maka segala bentuk pengobanan yang bertujuan untuk kebahagiaan hidup manusia adalah tergolong manusa yadnya. Selama ini pemahaman sebagian umat Hindu bahwa manusa yadnya semata-mata upacara yang dilaksanakan oleh orang tua bagi anak-anaknya, sejak dalam kandungan sampai menuju grahasta ( perkawinan). Jika memahami pengertian manusa yadnya, maka bentuknya tidak selalu upacara, serta peruntukannya bukan hanya untuk anak ( keturunan sendiri). Bentuk manusa yadnya bisa bermacam-macam seperti yadnya dalam bentuk dana, upacara, jnana, dan karma sepanjang tujuan yadnya tersebut adalah untuk kebahagiaan hidup manusia. Artinya jika kita memberikan nasehat atau ilmu kepada orang lain yang menyebabkan orang tersebut memperoleh kebahagiaan hidup maka itu tergolong juga manusa yadnya. Demikian pula memberikan dana punia untuk pendidikan anak bagi keluarga tidak mampu atau melaksanakan bhakti sosial pengobatan bagi masayarakat kurang mampu juga termasuk manusa yadnya. Dengan demikian maka sasaran manusa yadnya bukan hanya untuk anak/ keturunan sendiri, tetapi bagi semua manusia tanpa memandang suku, agama maupun golongan. 5. Butha Yadnya, adalah pengorbanan yang tulus iklhas untuk para butha agar tercipta kedamaian dan keharmonisan hidup di dunia. Menurut konsep Hindu bahwa semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan Hyang Widhi yang memiliki fungsi tersendiri dalam memutar roda kehidupan. Jadi semua mahluk termasuk para bhuta memiliki hak hidup. Manusia sebagai mahluk yang memiliki sabda, bayu dan idep memiliki peranan penting dalam menciptakan keharmonisan kehidupan. Oleh karena itu manusia melaksanakan bhuta yadnya agar keseimbangan hidup tercipta. Tujuan bhuta yadnya adalah agar para bhuta kala “somya”, sempurna kembali menuju alamnya sendiri dan tidak mengganggu kehidupan manusia. Secara sekala wujud bhuta yadnya adalah usaha kita agar menjaga kelestarian alam, tidak merusak mata air, hutan lindung, serta tindakan-tindakan lain yang dapat menjadi penyebab bencana alam. 2.2 Upacara Manusa Yajna upacara manusa yajna adalah persembahan yang tulus ikhlas kepada sesama manusia. Persembahan terhadap sesame manusia sangat penting pula bagi umat Hindu. Upacara Manusa yajna bertujuan untuk penyucian, baik secara lahir dan bhatin. Juga bertujuan untuk peningkatan status menuju kesempurnaan, menghindari segala godaan yang mengganggu kehidupan manusia sehingga mencapai keluhuran dan kemuliaan hidup manusia. Upacara mepandes ( potong gigi ) upacara ini dapat disatukan dengan upacara munggah deha teruna, setelah natab byakala langsung ke upacara potong gigi serta dilanjutkan dengan upacara mapetik ( ngetep jenggot ). Maknanya adalah peringatan mulai dewasa dengan mengurangi sifat-sifat sad ripu seperti : loba, menipu, suka dipuji, pearah, menyakiti, memfitnah dan lain-lain. Jenis dan makna upacara manusa yadnya Berikut ini akan saya tuliskan mengenai jenis-jenis dan maknanya dari upacara manusa yadnya. a. Upacara magedong-gedongan. Upacara magedong-gedongan adalah upacara bayi semasih dalam kandungan, setelah kehamilan 5 bulan bali atau 6 bulan kalender. Pada bulan ini bayi baru dianggap sempurna dan sudah berbentuk manusia. Sumber dalam Lontar Kuna Dresthi. b. Upacara bayi baru lahir Begitu bayi baru lahir maka ari-ari dibersihkan dengan sabun, kemudian ditaruh di dalam periuk kecil yang ada tutupnya. Di bagian atas kelapa atau periuk ditulis aksara Ong kara, sedangkan di bagian bawahnya ditulis aksara Ah kara, lalu diisi duri terung, mawar dan lekesan. Base lekesan ditulis aksara a, na, ca, ra, ka, da. Kemudian disebur dengan mesuwi dan jangu. Kemudian ditanam agar tidak diganggu binatang. Maknanya adalah untuk menghormati kekuatan magis catur sanak ( yeh nyom, lumas, darah dan ari-ari ) yang menolong si bayi saat dilahirkan dan melindungi si bayi sampai kepus puser. c. Upacara kepus puser Biasanya begitu puser bayi lepas dari perutnya, dimasukkan ke dalam sebuah ketupat dibungkus dengan kain putih, dan diikatkan di tangan atau di pintu kamar bagian atas. maknanya adalah agar bersih secara rohaniah segala alat atau rarana yang ada di lingkungan si bayi, sebab sebelumnya masih dalam keadaan kotor ( reged ). Dan pada saat itu pula si ibu bayi dalam keadaan bersih dari kotoran disaat melahirkan. d. Upacara penglepas hawon setelah bayi berumur 12 hari dibuakan penglukatan dan sembahyang agar si bayi dalam keadaan selamat. Makna upacara ini adalah pertanda bahwa si bayi baru bersih dari kotoran lamas ( bekas kotoran yang terbawa dari perut ibu ). e. Upacara tugtug kambuh upacara bayi setelah berumur 42 hari disebut pecologan yaitu upacara pengembalian nyama bajang dan pembersihan si ibu dengan mebersih dan mebanyu awang sehingga dapat memasuki tempat suci. maknanya adalah mulai hari itu ibu si bayi telah bersih dari kotopran semasa melahirkan bayi dan dianggap sudah tidak kotor ( leteh ) dalam hal yang sakral. f. Upacara nyambutin ( tiga bulanan ) upacara bayi setelah umur 3 bulan sering disebut nelubulanin dan tuun tanah. Makna upacara ini agar jiwa / atman si bayi benar-benar menyatu dengan raga si bayi dan sebagai penegasan nama si bayi dan memohon waranugraha ke hadapan ibu pertiwi agar diizinkan mengijakkan kaki. g. Upacara otonan upacara bayi setelah 6 bulan atau 210 hari sebagai ulang tahun kelahiran. Biasanya diadakan upacara potong rambut. Maknanya upacara ini adalah sebagai hari peringatan hari lahir si bayi. Pembersihan rambut berarti pembersihan siwadwara ( fikiran ) dan didaftarkan pada pura desa , sebagai pernyataan sebagai penduduk baru. h. Upacara ngempungin ( tumbuh gigi ) upacara mulainya gigi tumbuh, sebelum matahari terbit ( surya sewana ) sudah mulai jalan upacaranya. Makna upacara ini memohon kehadapan sang hyang surya, hyang brahma, dewi sri, agar gigi si bayi tumbuh baik, putih i. Upacara makupak ( makepus) upacara ini dilaksanakan pada saat gigi mulai ketus atau tanggal dengan banten pebyakalan, sesayut dan tebasan. Maknanya agar gigi berikutnya besih dan sehat / kuat. j. Upacara munggah deha-teruna upacara ini dilaksanakan pada saat sudah menginjak dewasa dengan ciri pria suaranya membesar dan perempuan mulai menstruasi. Untuk memuja sang hyang semara ratih. Maknanya ini agar mulai mawas diri karena sudah mulai menginjak dewasa dan mengindarkan diri dari godaan bubungan muda-mudi. k. Upacara mepandes ( potong gigi ) upacara ini dapat disatukan dengan upacara munggah deha teruna, setelah natab byakala langsung ke upacara potong gigi serta dilanjutkan dengan upacara mapetik ( ngetep jenggot ). Maknanya adalah peringatan mulai dewasa dengan mengurangi sifat-sifat sad ripu seperti : loba, menipu, suka dipuji, pearah, menyakiti, memfitnah dan lain-lain. l. Upacara mawinten upacara ini mulai menuntut ilmu pengtahuan / keagamaan / kernianian. Disini hanya memakai banten pawintenan saraswati dan maknanya agaq dapat mempelajari ilmu veda / weda dan sastra yang dianggap sakral. Dewa yang dhpuja adalah bhatara guru dan bhatara ganapati , serta dewi saraswati. m. Upacara pawiwahan ( perkawinan ) upacara perkawinan antara mempelai laki dan perempuan berdasarkan suka sama cinta, didahului dengan upacara pembersihan sukla dan swanita lewat byakala dan pembersihan rohani kedua mempelai dengan upacara prayastika. Maknanya adalah sebagai pengesahan hubungan mempelai dalam menjali6 rumah tangga atau perkawinan sehingga sah. Yang disaksikan oleh bhuta, manusia dan dewa berupa byakala, wakil masyarakat dan banten pejati. 2.3 Mytologi Upacara Potong Gigi Sebelum menjelaskan tentang upakara dan pelaksanaan upacara potong gigi terlebih dahulu akan dijelaskan Mytologi tentang upacara Potong Gigi. Dalam mytologi sivagama diceritakan Bhattara siwa menikmati perjalanan bersama Dewi Uma terbang di udara di atas samudra perjalanan tersebut semata-mata untuk melihat-lihat keindahan alam ciptaanNya sambil bersantai-santai bersama Dewi Uma. Di ceritakan kain Dewi Uma tersingkap sedikit oleh angin yang berhembus kencang. Dengan tersingkapnya kain yang dipakai oleh dewi uma maka kelihatanlah sedikit paha mulus Dewi Uma. Kejadian itu menyebabkan Bhattara Siva menjadi sedikit terkesima. Karena terkesima keluarlah Kama Petak Bhattara Siwa dan jatuh di samudra. Kama Petak Bhattara siwa yang jatuh di samudra itu dipelihara oleh dewa Bharuna di laut. Setelah beberapa lama Kama Petak itu Lahir menjadi Bhattara Kala. Wujud Bhattara kala tinggi besar berbentuk raksasa.Bhattara Kala terus ke darat untuk menanyakan siapa sesungguhya orang tuanya. Ternyata di darat tidak ada seorang pun yang mengetahui orang tuanya, kalau tidak dapat menjawab pertanyaannya terus dibunuhnya. Para rajapun ditanya oleh Bhattara kala. Setiap raja yang tidak dapat menjawab juga dibunuhnya. Kemarahan bhattara Kala semakin menjadi-jadi, karena di bumi ini tidak ada yang dapat menjelaskan siapa yang mengetahui orang tuanya maka Bhattara Kalapun sampai bertanya ke sorga Loka. Di sorga Loka itupun diperangi oleh Bhattara Kala. Sorga Loka menjadi heboh dan geger karena ngamuknya Bhattara Kala. Bhattara kala memang sangat tangguh dalam setiap peperangan. Tidak ada senjata yang dapat melukai Bhattara kala. Akhirnya Bhattara kala berhadapan dengan Bhattara siwa. Bhattara Kala menanyakan kepada Bhattara Siwa siapa sesungguhnya ayah dan ibunya. Bhattara siwa memberitahu Bhattara kala agar Bhattara Kala memotong terlebih dahulu taringnya yang tajam. Kalau taring yang tajam itu sudah hilang atau datar maka secara otomatis Bhattara Kala akan bertemu dengan siapa yang menciptakannya. Nasehat Bhattara Siwa diikuti oleh Bhattara Kala. Setelah Bhattara kala memotong taringnya yang lancip itu Bhattara Kalapun dengan penciptanya sendiri. Teryata yang menjadi ibu dan ayah sebagai penciptanya adala Dewi Uma dengan Bhattara Siwa sendiri. Ketika Bhttara Kala mengetahui bahwa yang menciptakan dirinya adalah Bhattara Siwa dengan Dewi Uma barulah Bhattara kala berdatang sembah kepada Bhattara Siwa dan Dewi Uma. Dengan Bertemunya Bhattara Kala dengan Bhattara Siwa sebagai penciptanya maka redalah marahnya Bhattara kala. Dalam cerita diatas adapun nilai-nilai filosofis yang dicerminkan oleh beberapa simbolis yang ter dapat dalam cerita tersebut. Pertemuan Bhattara Siwa dengan Dewi Uma di tempat yang tidak wajar melahirkan anak yang tidak wajar. Bhattara Kala berbadan raksasa dan pemarah. Ini mengandung nasehat janganlah bertemu asmara dengan istri disembarangan tempat. Pertemuan ditempat yang tidak layak akan dapat melahirkan anak yang tidak wajar. Narah dan suka menyerang salah satu sifat anak yang dilahirkan oleh suami istri yang bertemu pada tempat yang tidak wajar. Marah dan suka menyerang Sifat yang dimiliki Bhattara kala sebelum bertemu dengan Bhattara kala. Perjuangan Bhattara Kala untuk menemukan siapa ayah dan ibunya yang sebenarnya mengandung suatu nilai simbolik. Nilai simbolik yang dikandungnya adalah nilai perjuangan mencari Sang pencipta. Perjuangan Bhattara kala mencari ibu dan ayahnya itu sesungguhnya perjuangan untuk bertemu dengan Tuhan. Cuma Bhattara Kala ingin bertemu dengan Tuhan dengan nafsu narah dan dengan kekerasan. Nafsu marah dan dengan kekerasan tidak akan membawa orang dapat bertemu dengan Tuhan. Karena itu kemanapun ia menanyakan penciptanya Bhattara Kala tidak dapat jawaban. Setelah mendapatkan nasehat dari Bhatara Siwa dan nasehat itu dilaksanakan dengan bail. Nasehat itu memotong taringnya. Setelah itu barulah Bhattara Kala tahu bahwa Bhattara Siwalah penciptanya. Itulah mytologi upacara potong gigi bahwa upacara potong gigi itu disimbulkan untuk mengurangi sad ripu dan juga untuk bisa kita mengetahui siapa pencipta kita dann juga kita agar dalam mencari Sang pencipta tidak dengan cara Kemarahan, Nafsu dan dengan kekerasan,apabila hal itu hilang maka kita bisa mengetahui Sang pencipta. 2.4 Tujuan Upacara Potong Gigi Upacara Potong Gigi bertujuan dan mempunyai filsafat sebagai berikut 1. Sebagai salah satu bentuk untuk membayar hutang budi kepada leluhur. Manusia dalam hidupnya mempunyai tiga hutang budi yang disebut Tri Rnam dan salah satu diantaranya adalah Pitra Rnam yaitu hutang budi kepada orang tua (leluhur) yang menyebabkan manusia lahir, jadi untuk membayar hutang budi kepada leluhur harus dibayar dengan memelihara dan mengupacarai keturunannya ( pari sentana ). 2. Merupakan suatu simbolis untuk melenyapkan atau mengendalikan hawa nafsu yang disebut Sadripu adalah enam musuh yang ada dalam diri manusia yaitu Kama;keinginan, Kroda;kemarahan, Lobha;serakah, Moha;kebingungan, Matsarya;dengki/irihati, dan Mada;mabuk. Pada upacara Potong Gigi juga diadakan persaksian kepada Sanghyang Widhi dalam prabawanya sebagai Sanghyang Semara Ratih yang merupakan perlambang/simbol dari pada keinginan seperti cinta kasih yang tumbuh kembang pada setiap insan yang menginjak dewasa yang memerlukan pengendalian diri agar tidak terjerumus dalam nafsu keinginan yang berlebihan. Pustaka Lontar yang berkaitan dengan Upacara Potong Gigi adalah : 1. Lontar Dharma Kahuripan yang memuat tentang Manusa Yadnya baik mengenai upacara maupun upakaranya menurut tingkat Kanistama, Madyama dan Utama termasuk Upacara Potong Gigi yang di sebut Atatah ( Jaman Empu Kuturan abad XI ) 2. Lontar Siwa Ekapratama Samapta yang memuat tentang Manusa Yadnya yang berkembang di jaman Dang Hyang Dwi Jendra abad XVI. 3. Lontar Puja Kala Pati yang memuat tentang asal mula orang melaksanakan Upacara Potong Gigi sebagai petunjuk dari Bhatara Siwa kepada manusia agar nantinya menemukan hakekat manusia sejati itu demikian juga mengenai tata cara dan upacara Potong Gigi. 4. Lontar Puja Kalib tentang Puja dan Mantra yang digunakan oleh Sulinggih dalam memimpin Upacara Potong Gigi. 5. Lontar Jadmaphala Wreti tentang pelaksanaan Upacara Potong Gigi. Makna setiap tahapan kegiatan dalam Upacara Potong Gigi. Berdasarkan ketentuan dalam Pustaka Lontar Kahuripan dan Pustaka Lontar Puja Kala Pati bahwa tahapan atau prosesi Upacara Potong Gigi adalah sebagai berikut : 1. Magumi Pedangan ; yaitu mohon tirtha penglukatan pada Bhatara Brahma yang dilakukan di dapur, DANGAN artinya dapur. Upacara ini mengandung makna bahwa orang yang diupacarai itu nantinya tidak lepas dari urusan dan bertanggungjawab soal dapur. 2. Mabyakala ; yaitu dilaksanakan di halaman rumah untuk Sang Bhuta Dengen. Makna upacara ini untuk membersihkan pengaruh-pengaruh negatif yang melekat pada diri. 3. Ke Sanggar Pemujaan ( Rong Tiga / Kawitan) ; yaitu mohon restu dan panugrahan kepada Bhatara Hyang Guru sekaligus permakluman pada leluhur bahwa mereka akan melaksanakan Upacara Potong Gigi dan Minum Tirtha Wasuhpada sebagai tanda telah memperoleh restu. Memberikan labahan dalam bentuk Caru Ayam Petak tanpa Sanggah Cucuk kepada Sang Anggapati ( Saudara tua dari catur sanak ) sebagai simbolis untuk mohon agar mereka menjaga orang yang melakukan upacara Potong Gigi yang berarti guna mengharmoniskan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pada diri mereka. Selanjutnya memahat Taring dan Ngerajah gigi. Ngerajah dengan bungan Teratai putih atau cincin emas bermata mirah warna merah. Memahat taring dan ngerajah gigi ini dengan aksara Suci bermakna agar yang diupacarai mampu untuk mengendalikan pikiran, bathin, keinginan dan perbuatan mereka dalam kehidupan ini agar menemukan hakekat manusia sejati itu. Terakhir adalah sungkeman terhadap orangtua, dalam acara sungkeman ini ada piteket /nasehat orang tua ( ayah dan ibu ), kemudian anak mohon restu kepada kedua orang tuanya. 4. Naik ke Bale tempat Potong Gigi; Sebelum Potong Gigi terlebih dahulu menyembah (Muspa) di Bale Gading kepada Sanghyang Semara, mohon Tirtha untuh mesangih. Mereka yang akan Potong Gigi naik hilir ke hulu, disuruh tidur tengadah. Badannya sampai kaki ditutup kain (rurub). Sikap tangan diletakkan diatas dada dialasi Kekasang dan kaki terkujur rapat. Gigi yang dipapar adalah empat buah gigi seri dan dua buah taring, kiri kanan pada rahang atas. Memapar enam buah gigi maknanya menekan Sadripu (enam musuh pada diri) secara simbolis. Sadripu tidak bisa dihilangkan semasih manusia hidup tetapi bisa ditekan atau dikendalikan apabila bathin telah suci. Kemudian mulai memasang pedangal (singsang) gigi. Yang pertama pedangal dari kayu dapdap dipasang pada rahang atas sebelah kiri untuk perempuan dan yang kedua pedangal dari kayu dapdap pada rahang atas kanan untuk laki-laki. Sedangkan dari tebu, bebas kanan-kiri hingga memapar selesai. Yang pertama kali dipapar dengan kikir pada rahang atas ini adalah taring dulu baru kemudian empat buah gigi seri dikerjakan sampai selesai. Air ludah dan pedangal yang telah dipakai dimasukkan ke kelapa gading. Gigi yang sudah dipapar itu lalu digosok dengan pengurip gigi dari kunir dan diberi pengancing dengan menggigit base/sirih lekesan tiga kali. Bekas base lekesan itu juga dimasukkan ke kelapa gading. Makna pengurip gigi dan pengancing ini adalah lambang agar Panca Dewata menjaga kehidupan mereka yang melakukan upacara Potong Gigi. Kemudian turun dari tempat metatah dari hulu ke hilir selanjutnya menginjak banten peningkeb. Banten peningkeb bermakna sebagai suatu sarana yang bersangkutan mengharmoniskan diri dengan alam atau Ibu Pertiwi termasuk Sang Catur Sanak yang di ajak lahir. 2.5 Upakara dan Pelaksanaan Upacara Potong Gigi Upakara : 1. Upakara yang kecil : banten pabyakalan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya. 2. Upakara yang lebih besar : seperti di atas, tatabannya memakai Pulagembal Disamping upakara tersebut ada juga perlengkapan yang lain, yaitu : Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale), dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub). 1. Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka kekiping pisang mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih. 2. Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai. 1. Untuk singgang gigi (padangal) adalah 3 potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (kira-kira 1 cm/1,5 cm). 2. Pangilap (sebuah cincin berwarna mirah). 3. Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur. 4. Sebuah bokor berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pangilap ditaruh di tempat ini, dimikian pula pangurip-urip). 5. Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, gambir, kapur. 6. Banten tetingkeb, yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti dengan segehan agung). Pelaksanaan upacara Setelah dilakukan upacara mabyakala, maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Sanghyang Siwa Aditya, Sanghyang Smara Ratih, kemudian naik ke tempat upacara (bale), duduk menghadapat ke hulu (luanan). Pimpinan upacara (sangging), mengambil cincin untuk dipakai “ngrajah”, pada beberapa tempat, seperti : 1. Pada dahi, diantara kening/selaning lelata 2. Pada taring kanan 3. Pada taring kiri 4. Pada gigi atas 5. Pada gigi bawah 6. Pada lidah 7. Pada dada 8. Pada nabhi/puser 9. Pada paha kanan dan paha kiri Penulisan Rerajahan tersebut sesuai dengan Sangging / Pemimpin Upacara. Setelah diperciki “tirtha pasangihan”, lalu tidur menengadah, ditutupi dengan kain/rurub dan selanjutnya upacara dipimpin oleh sangging, yakni orang yang sudah biasa melaksanakan hal tersebut. Tiap kali “padangal” diganti, ludah serta padangal yang sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah kelapa gading”. Bila sudah dianggap cukup rata, lalu diberi “pengurip-urip”, kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan 3 kali), sisanya dibuang dalam kelungah kelapa gading. Sore harinya dilanjutkan dengan upacara natab, yang dipimpin oleh Sulinggih atau orang bertugas untuk itu. Beberapa Mantra : 1. Mantra Kikir : OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lungha, antinen kakang nira Sri Kanaka, teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet awet awet. 2. Mantra pemotongan gigi pertama : OM lungha ayu, teka ayu (3 kali). 3. Mantra Pangurip-urip : OM Urip-uriping bhayu, sabda,idep, teka urip, ANG AH. 4. Mantra lekesan : OM suruh mara, jambe mara, tumiba sira maring lidah, Sanghyang Bhumi Ratih ngaranira, tumiba sira ring hati, Kunci Pepet ngaranira,katemu-temu dlaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan, Sanghyang Sumarasa aranira, wastu kedep mantrangku. Dalam pelaksanaan upacara Matatah/Mapandes, ada beberapa Pustaka yang menjadi pegangan, yaitu : Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradahana, Puja Kalapati, Tutur Sanghyang Yama dan Sastra Proktah. Dalam Lontar Kala Tattwa, ada disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan waktu. Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain Dewi Uma tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air mani inilah lahir Bhatara Kala. (Nihan tacaranika sang brahmana, yan ring amawasya, catur dasi, ring purnama, ring astame kala kuneng, brahmacarya juga sira, haywa pareking stri, ngaraning brata samangkana amretasnataka = Demikianlah prilaku sang Brahmana, pada waktu tilem (amawa), prawani (caturdasi), pananggal panglong 8 (astame), hendaknya melakukan Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata Amretasnataka). Setelah Bhatara Kala menginjak dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal ayah ibunya (asal mula), atas petunjuk Dewa Siwa, agar Bhatara Kala memotong taringnya terlebih dahulu, setelah itu akan bertemu dengan harapannya. Dalam lontar Smaradahana, menceritrakan kelahiran Bhatara Ganesha dan nantinya dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka dengan patahan taringnya. Sedangkan dalam pustaka Puja Kalapati, disebutkan bahwa gigi yang dipotong adalah 4 gigi seri dan 2 taring (lambang sad ripu). Jika tidak dipotong akan menyebabkan mala dan berbadankan Kala. Jika masih berbadankan Kala maka para Dewa tidak akan menampakkan diri. Pustaka Tutur Sanghyang Yama, menyebutkan : …..yan amandesi wwang durung angrajasawala, padha tan kawenang, amalat raray ngaranya, tunggal halanya ring wwang angrabyaning wwang durung angrajasawala, tan sukramakna ring jagat magawe sanghar nagaranira sri aji. Tetapi dalam lontar Sastra Proktah, ada disebutkan : iki ling ning sastra proktah, ngaran, mwah yan hana wwang durung apandes, katekan pejah, haywa amandesi wwang pejah, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa, yan mangkana kramanya, papa dahat, apan tan kawenang wwang mati, wehing sopakaraning wwang mahurip, tunggal halanya sang maweh lawan sang wineh, tinemah de bhatara Yamadipati. Sedangkan dalam pelaksanaannya dan sudah berdasarkan keputusan Kesatuan Tafsir dan Paruman Sulinggih, hal itu dapat dilangsungkan asalkan : 1. Yang bertindak sebagai Sangging hendaknya orang tuanya/pamannya. 2. Alas tumpuan Sangging adalah lesung/padi. 3. Tangan Sangging digelangi dengan uang kepeng (penebusan). 4. Pengganti kikir adalah ani-ani (anggapan/ketam) atau bunga tunjung. III Penutup 3.1 Kesimpulan Panca Yadnya adalah lima macam korban suci dengan tulus ikhlas yang wajib dilakukan oleh umat Hindu. Pelaksanaan Panca yadnya adalah sebagai realisasi dalam melunasi kewajiban manusia yang hakiki yaitu Tri Rna ( tiga hutang hidup ). Adapun jenis-jenis upacara manusa yajna : Upacara Magedong-gedongan, Upacara Bayi Lahir, Upacara Kepus Puser, Upacara Ngelepas Hawon, Upacara Tutug Kambuhan, Upacara Nyambutin/Netelunin, Upacara Ngotonin, Upacara tumbuh gigi, Upacara Makupak, Upacara Munggah Daha/Teruna, Upacara Mapades/potong gigi, Upacara Pawiwahan. Dan Upacara Pewintenan/ Upacara Upanayana dan Upacara Samarwatana. upacara manusa yajna adalah persembahan yang tulus ikhlas kepada sesama manusia. Persembahan terhadap sesame manusia sangat penting pula bagi umat Hindu. Upacara Manusa yajna bertujuan untuk penyucian, baik secara lahir dan bhatin. Juga bertujuan untuk peningkatan status menuju kesempurnaan, menghindari segala godaan yang mengganggu kehidupan manusia sehingga mencapai keluhuran dan kemuliaan hidup manusia, disemping itu adapun mytologi tentang upacara potong gigi yang disana diceritakan tentang Bhatara Siwa yang jatuh air maninya dan menjadi Bhatara Kala dan Bhatara kala mencari ayah dan ibunya setelah bertemu dengan Bhatara Siwa, Beliaupun meminta untuk memotong taringnya stelah terpotong taringnya maka dapatlah bertemu dengan yang menciptakan dirinya, tujuan dari upacara potong gigi ialah Sebagai salah satu bentuk untuk membayar hutang budi kepada leluhur. Manusia dalam hidupnya mempunyai tiga hutang budi yang disebut Tri Rnam dan salah satu diantaranya adalah Pitra Rnam yaitu hutang budi kepada orang tua (leluhur) yang menyebabkan manusia lahir, jadi untuk membayar hutang budi kepada leluhur harus dibayar dengan memelihara dan mengupacarai keturunannya ( pari sentana ). Merupakan suatu simbolis untuk melenyapkan atau mengendalikan hawa nafsu yang disebut Sadripu adalah enam musuh yang ada dalam diri manusia yaitu Kama;keinginan, Kroda;kemarahan, Lobha;serakah, Moha;kebingungan, Matsarya;dengki/irihati, dan Mada;mabuk. Upakara : Upakara yang kecil : banten pabyakalan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya.,Upakara yang lebih besar : seperti di atas, tatabannya memakai Pulagembal. Disamping upakara tersebut ada juga perlengkapan yang lain, yaitu : Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale), dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub).,Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka kekiping pisang mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih.,Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai.,Untuk singgang gigi (padangal) adalah 3 potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (kira-kira 1 cm/1,5 cm).,Pangilap (sebuah cincin berwarna mirah).,Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.,Sebuah bokor berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pangilap ditaruh di tempat ini, dimikian pula pangurip-urip).,Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, gambir, kapur.,Banten tetingkeb, yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti dengan segehan agung). Pelaksanaan upacara Setelah dilakukan upacara mabyakala, maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Sanghyang Siwa Aditya, Sanghyang Smara Ratih, kemudian naik ke tempat upacara (bale), duduk menghadapat ke hulu (luanan). Pimpinan upacara (sangging), mengambil cincin untuk dipakai “ngrajah”, pada beberapa tempat, seperti :Pada dahi, diantara kening/selaning lelata,Pada taring kanan,Pada taring kiri,Pada gigi atas,Pada gigi bawah,Pada lidah,Pada dada,Pada nabhi/puser,Pada paha kanan dan paha kiri Daftar Pustaka Subagia, I Ketut,2008, “ pengantar Acara Agama Hindu”. Surabaya : Paramita Wiana, I Ketut,2001, “ makna upacara yajna dalam agama hindu”. Surabaya : Paramita http://id.wikipedia.org/wiki/Potong_gigi http://bytescode.wordpress.com/2007/11/28/upacara-potong-gigi-mapandes/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar